Ads Inside Post

Editorial, Setahun Kepemimpinan Jokowi"



KORAN TEMPO 20/10 Page 11, -- Kepemimpinan merupakan kelemahan terbesar pemerintah Presiden Joko Widodo. Dalam setahun usia kekuasaan mereka, lemahnya koordinasi terlihat di mana-mana. Berkali-kali perbedaan pendapat di antara para menteri yang mencuat ke publik— bahkan antara mentcri dan Wakil Presiden Jusuf Kallatidak pernah diselesaikan dengan saksama.

Pada awal pemerintahan, Jokowi menyatakan "tidak ada visi menteri" karena "yang ada hanya visi presiden'. Kenyataannya, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli bebas beradu argumen, secara terbuka dengan Menteri BUMN Rini Soemarno dalam hal pembelian pesawat Garuda, juga dengan Menteri Energi Sudirman Said soal perpanjangan kontrak Freeport. Menteri Rini pun berbeda pendapat dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tentang kereta cepat Jakarta-Bandung.

Perbedaan pendapat sebenarnya diperlukan untuk mendapatkan keputusan terbaik. Namun, jika dilakukan secara terbuka, publik akan menangkapnya sebagai ketidakmampuan Presiden mengendalikan menteri-menterinya. Lebih jauh lagi, masyarakat akan mempertanyakan pilihan Presiden ketika menyusun Kabinet Kerja yang juga sudah dirombak pada Agustus lalu itu.

Jokowi, setahun yang lalu, dilantik dengan memikul harapan besar. Masyarakat—terutama pendukungnya dalam pemilihan presiden 2014 —berharap dia memberikan sesuatu yang baru dalam pemerintahan. Apalagi dia populer karena menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi ketika menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah, dan kemudian Gubernur Jakarta.

Bulan madu ternyata berakhir cepat ketika Presiden mengajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri. Kelompok antikorupsi mempersoalkan penunjukan jenderal yang diduga memiliki rekening tak wajar itu. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Budi sebagai tersamgka gratifikasi, gonjang-ganjing politik pun meledak. Lembaga antikorupsi itu akhirnya lumpuh karena pemimpinnya diperkarakan polisi.

Kepercayaan terhadap pemerintah baru juga terkikis karena ekonomi yang melemah. Harga berbagai kebutuhan pokok, seperti beras dan daging sapi, merangkak naik. Nilai tukar rupiah pun anjlok. Memang, situasi itu banyak dipengaruhi ekonomi global. Namun persepsi publik menghubungkannya dengan kinerja pemerintah.

Kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi memudar. Pada Juni 2015, Saiful Mujani Research and Consulting melaporkan tingkat kepuasan responden hanya 40,7 persen, di bawah angka kepuasan tahun pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 70 persen. Pada 8 Oktobei lalu, Indo Barometer melaporkan hanya 46 person responden yang puas — turun dari 57,5 persen dalam survei lembaga yang sama enam bulan sebelumnya.

Jokowi dan Kalla semestinya segera berbenah untuk memperbaiki kinerja pemerintahan mereka. Prioritas utama adalah membuat Kabinet Kerja lebih solid.