Ads Inside Post

Membaca Nubuat Konflik Palestina-Israel



Oleh MUHAMMAD TAKDIR, Policy Scenario Analyst, Berdiam di Jenewa Swiss

REPUBLIKA 16/10 Page 6, -- Bendera Palestina telah resmi dikibarkan di Markas PBB, New York, September 2015. Giliran Markas PBB di Jenewa, Swiss, menaikkan bendera Palestina, Oktober 2015 ini.

Dengan status observer di PBB, butuh selangkah lagi untuk mematenkan keanggotaan penuh Palestina sebagai negara anggota PBB yang berdaulat.

Langkah itu jeias akan menguras pikiran, tenaga, dan perjuangan. Palestina harus lebih cerdas memosisikan dirinya vis-a-vis Israel.

Yang menarik dari konflik PalestinaIsrael adalah melihat referensi supertisis yang dapat membantu kita menata evolusi dan resolusi konflik. Cara pandang ini biasa dipakai dalam melihat dan mengkaji body of conflict di Timur Tengah melalui penjelajahan God's revealing dalam Alquran. Jamak dipahami keturunan Nasrani, Yahudi, dan Muslim berasal dari satu trah Nabi Ibrahim.

Nubuat genegeologis kaum Yahudi berasal dari Nabi Ishak yang disebut dalam Su- rah al-Hijr ayat 53 sebagai penjelmaan ghulaaman alim (anak-anak yang cerdas, intelijen, dan berpengetahuan). Sedangkan, nubuat genegeologis bangsa Arab diturunkan dari Ismail yang disebut dalam Surah asShaffaat ayat 101 sebagai ghulaaman halim (anak-anak yang berperasaan).

Kalau kita mengkaji aspek nubuat genegeologis kedua kelompok yang bertikai di Timur Tengah, yang sering kita temukan adalah kaum Yahudi lebih taktis memainkan siasat menghadapi seteru Arab. Yahudi memaksimalkan kecerdasan dalam menyiasati konfliknya dengan Palestina dan lainnya.

Sebaliknya, perpecahan dan divisi internal lebih banyak terjadi di kalangan bangsa Arab yang didominasi kepentingan sempit dan jangka pendek. Tabiat perpecahan itulah yang kita saksikan dalam episode kelam Arab Spring yang kini berubah menjadi Arab Uprising di Yaman, Mesir, Libya, dan Suriah.

Apa yang kita sebut in-group feeling merupakan perasaan yang mengerucut pada kepentingan kelompok dan kafilah, yang terlihat menonjol di kalangan Arab dalam kesemrawutan penyelesaian konflik di sana. Bangsa Arab harus memperbarui cara mereka dalam menghadapi Israel dengan bersikap lebih pragmatis dan banyak menggunakan alim atau kecerdasan pada setiap siasat.

Arab telah menghilangkan banyak kesempatan penting dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah sejak 1960-an hingga awal dekade 2000-an karena terlalu bertumpu pada penggunaan halim atau perasaan sentimental. Ingat peristiwa pada 19 Juni 1967 (seminggu setelah perang berakhir), Israeli National Unity yang diprakarsai Manachen Begin ketika itu memutuskan sepihak untuk menawarkan penarikan mundur dari Sinai dan Dataran Tinggi Gholan, sebagai balasan perjanjian damai dengan Mesir dan Suriah.

Sayangnya, tawaran itu ditampik Mesir dan Suriah sehingga membutuhkan belasan tahun kemudian bagi Kairo untuk kembali mempertimbangkan, dan akhirnya menerima resolusi tersebut lewat Perjanjian Camp David 1979. Pada permulaan 1968, Perdana Menteri Israel Levi Eshkol melakukan serangkaian pembicaraan dengan kelompok Arab, yang gagasan pertama tentang Otonomi Palestina diajukan. Namun, baik Yordania maupun kelompok vokal ketika itu, PLO, tidak cukup berani untuk mengambil sikap. Belakangan dengan format Otoritas Palestina seperti saat ini, tidaklah terlalu berbeda dengan apa yang digagas puluhan tahun sebelumnya.

Kesempatan terbuka lainnya adalah tatkala perundingan Camp David tahun 2000 dimulai antara PM Ehud Barrak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat. Saat itu, Israel menawarkan memberikan 92 persen wilayah Tepi Barat dan too persen Jalur Gaza. Arafat cenderung mengabaikan dan mendesak seruan dan tuntutan rights of return tiga juta pengungsi Palestina di pengasingan agar dimasukkan dalam paket penawaran Ehud Barrak.

Kenyataannya, Tel Aviv hanya mau menerima tuntutan itu dalam konteks family unification on humanitarian ground serta tidak dapat membiarkan penggunaan skala penuh hak tersebut. Perundingan kemudian menjadi gagal dan Yasser Arafat banyak disalahkan akibat posisi tersebut.

Dalam konteks penggunaan siasat alim, seandainya Yasser Arafat menerima saja tawaran itu dan kelak kemudian menyiasati pemulangan jutaan pengungsi Palestina dalam format yang diminta Tel Aviv, saya kira konfigurasi perundingan sekarang akan sedikit berubah dan lebih maju. Setidak-tidaknya, Palestina memiliki kesempatan untuk memukul balik Israel jika Tel Aviv mempersoalkannya. Artinya, hasta demi hasta Palestina terus dapat mengamankan kepentingannya dan mengambil sedikit demi sedikit tawaran yang diajukan dalam paket penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Pada akhirnya, bila Tel Aviv masih mempersoalkan kembalinya jutaan pengungsi Palestina dari pengasingan, Otoritas Palestina dapat memobilisasi dukungan interriasional agar masyarakat dunia membuka mata bahwa Israel adalah pihak yang tak ingin menyaksikan berfungsinya "two states solution".

Toh, bukankah sebagai negara merdeka, Palestina bebas dan berhak mengundang kembali warganya di luar negeri untuk kembali ke Palestina. Tidak dalam jumlah yang besar seperti dikhawatirkan Israel, tetapi sedikit demi sedikit.

Mereka memperoleh mandat untuk mengurus warga sendiri karena mereka memiliki tanah berdaulat dan merdeka yang harus dibangun. Itulah esensi alim sesungguhnya.