20 Okt 2015

Mencermati Perkembangan Cina

REPUBLIKA 20/10 Page 19, -- Perdagangan Cina masih mencatat surplus meski mengalami perlambatan ekonomi.

Mata dunia kini tengah tertuju pada Cina. Mengapa demikian? Banyak ekonom menuding Cina sebagai biang krisis ekonomi global yang terjadi saat ini makin sulit terhenti.

Cina pun dianggap memicu krisis di emerging market. Dengan gejolak ekonomi tersebut, lengkap sudah asumsi terjadinya trilogi krisis pada dekade terakhir ini, yaitu krisis di Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara berkembang. Tentu, Cina yang dianggap menjadi pemantik api krisis negara berkembang.

Resesi ekonomi AS saja sudah menjadi tsunami bagi ekonomi global. Rentetan kebijakan yang diambil oleh AS begitu memengaruhi laju ekonomi negara-negara lain.

Begitu pula derigan negara-negara Eropa yang mayoritas sudah masuk dalam kelompok negara maju. Begitu kawasan ini mengalami krisis, negara lain pun terengah-engah.

Gelombang krisis dari AS dan Eropa belum surut. Tiba-tiba muncul gelombang keras dari emerging market yang dipicu oleh langkah dan kebijakan Pemerintah Cina.

Itulah gambaran dari beberapa ekonom. Tapi, betulkah Cina begitu menjadi ancaman dan memperparah krisis?

Tahun-tahun belakangan ini ekonomi Cina memang kurang memuaskan. Pertumbuhan ekonomi negara yang pernah sangat lama dijuluki "Negeri Tirai Bambu" ini melambat, hanya mampu mencatat angka satu digit sejak 2011.

Ekonomi Cina hanya mampu tumbuh 9,48 persen pada 2011 setelah tumbuh dua digit 10,63 persen pada 2010. Pada 2012, ekonomi negara ini merosot cukup dalam hingga menyentuh 7,75 persen. Dua tahun berikutnya terus merosot menjadi 7,68 persen (2013) dan 7,35 persen (2014).
Pekan ini Cina akan mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga. Banyak analis menduga laju pertumbuhan ekonomi kuartal tersebut di bawah 7,0 persen. Perkiraan tersebut seperti akan terbukti karena negara itu juga barn saja menurunkan target pertumbuhan ekonomi 2015 dari 7,4 persen menjadi 7,3 persen. Jika pertumbuhan ekonomi Cina pada kuartal ketiga benar-benar di bawah 7,o persen, ini menjadi catatan terburuk atau terendah yang belum pernah dialami negara itu dalam 25 tahun terakhir.

Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi, Cina mungkin tak lagi sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi global. Karena itulah, negara ini tents meracik model ekonominya agar bisa melaju seperti tahuntahun lain.

Cina sedang bertransformasi. Seniula negara ini mengandalkan investasi sebagai basis pengembangan ekonomi. Lalu, model tersebut dianggap sudah tak lagi kondusif sehingga beralih mengandalkan ekspor sebagai basis pendorong laju ekonomi. Ekspor diperkuat dengan pengembangan industri manufaktur dengan nilai produk yang berdaya saing di pasar.

Namun, Cina menilai, mengandalkan ekspor saja juga tak bisa memberikan kontribusi sangat besar seperti tahun-tahun sebelumnya. Tentu pemerintah kembali berpikir ulang untuk menemukan model perekonomian yang lebih fleksibel lagi.

Dengan tingkat kesejahteraan yang makin meningkat, Cina kembali berevoluasi. Negara ini mulai mengandalkan kekuatan konsumsi masyarakat sebagai basis utama pengembangan ekonomi untuk menggantikan basis investasi dan ekspor.

Tapi, faktanya Cina tak bisa membalikkan telapak tangan saat mengubah model ekonominya. Pendapatan per kapita mereka memang meningkat, tetapi permintaan terhadap impor ternyata masih melemah: Tentu pemerintah tak mengharapkan kondisi seperti ini terns terjadi.

Dengan menggunakan mata uang lokal yuan, berdasarkan data General Administration Customs Cina, nilai ekspor negara tersebut pada September 2015 menurun 1,1 persen dibandingkan periode sama 2014 menjadi 1,3 triliun yuan. Namun, penurunan nilai ekspor September masih lebih baik ketimbang angka Agustus dan Juli yang masing-masing merosot sebesar 6,1 persen dan 8,9 persen.

Penurunan lebih besar terjadi pada impor. Masih menggunakan mata uang yuan, pada September 2015 nilai impor Cina menyusut hingga 17,7 persen menjadi 923,9 miliar yuan. Terjadi penurunan impor lebih besar pada September dibandingkan Agustus year on year yang berkurang 14,3 persen. Kemerosotan nilai impor ini terjadi karena permintaari domestik menurun serta harga komoditas dunia masih jatuh.

Dengan angka ekspor yang lebih besar ketimbang nilai impor, September lain Cina mampu mencatat surplus neraca perdagangan sebesar 376,2 miliar yuan atau naik 2,2 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. "Meskipun angka ekspor lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya, permintaan eksternal masih lemah pada kuartal ketiga," kata Liu Ligang, kepala ekonom di Australia & New Zealand (ANZ) Banking Group wilayah Cina, seperti dilaporkan Shanghai Daily, beberapa waktu lalu.

Bila menggunakan perhitungan mata uang yuan, nilai impor Cina mengalami penyusutan berturut-turut dalam enam tahun terakhir. Bahkan, angka impor ini sudah merosot dalam 11 bulan beruntun secara year on year.

"Kami mengantisipasi tekanan lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang," kata Tao Doug, pimpinan ekonom regional untuk kawasan Asia termasuk Jepang di Credit Suisse Group AG di Hong Kong, kepada Bloomberg, beberapa waktu lalu. "Analisis kami menunjukkag produksi industri global akan kehilangan momentum lebih lanjut. Tidak hanya Cina, tetapi negara-negara emerging market juga berjuang.keras menghadapi penurunan permihtaan domestik."

Masih menguatnya ekspor sehingga menghasilkan neraca perdagangan positif sebagai indikasi langkah Bank Sentral Cina People Bank of China (PBOC) yang mendevaluasi mata uang yuan pada Agustus lalu mampu mendorong kinerja ekspor. Langkah tersebut membuat produk Cina lebih berdaya saing dibandingkan produk dari negara lain.

Perdagangan dengan Amerika Serikat pun menguntungkan Cina. Pengiriman barang ke AS tercatat meningkat 6,7 persen pada September 2015 berdasarkan transaksi dengan mata uang dolar AS. Bahkan, tren peningkatan nilai ekspor ke AS tersebut secara keseluruhan menjadi yang terbesar sejak Agustus 2010.

Bila menggunakan mata uang dolar AS sebagai alat transaksi perdagangan, total nilai impor Cina merosot lebih tajam, mencapai 20,4 persen pada September 2015 dibandingkan periode sama tahun lalu menjadi 145,2 miliar dolar AS. Angka ini lebih besar ketimbang perkiraan Para ekonom Bloomberg yang menyebut 16 persen.

Dari sisi ekspor dengan transaksi menggunakan dolar AS, nilai ekspor Cina pada September 2015 turun tipis 3,7 persen dibandingkan periode sama tahun lalu menjadi 205,6 miliar dolar AS. Penurunan ini masih menggembirakan karena sebelumnya diperkirakan akan merosot hingga 6,o persen.

Dengan penurunan tipis pada sisi ekspor, sedangkan impor menurun drastis, Cina mencatat nilai surplus yang besar, mencapai 60,34 miliar dolar AS. Angka surplus ini nyaris menjadi rekor barn bagi Cina.

Permintaan impor yang lemah dari Cina ternyata juga mengganggu ekonomi negara itu. "Pertumbuhan impor tetap lamban. Ini menunjukkan melemahnya permintaan domestik, khususnya permintaan investasi," kata Yang Zhao, ekonom Cina di Nomura Holdings Inc, beberapa waktu lalu, seperti dilansir Bloomberg. "Kami tetap pada pandangan kami, pertumbuhan PDB akan menurun menjadi 6,7 persen pada kuartal ketiga."

Para analis ANZ mengungkapkan, lesunya data perdagangan Cina pada September lalu menandakan ekonomi negara ini memang benar-benar sedang melambat. Karena itulah, ANZ memperkirakan pertumbuhan ekonomi Cina hanya akan menyentuh level 6,4 persen pada kuartal ketiga 2015, menurun dibandingkan 7,o persen pada semester pertama 2015.

Surplus perdagangan yang besar akan membantu Cina mengimbangi kekhawatiran terjadinya arus keluar modal. "Pada tiga kuartal pertama, Cina mampu mengumpulkan surplus perdagangan dengan nilai total 424,1 miliar dolar AS," jelas Liu Ligang. "Kami memperkirakan neraca perdagangan secara keseluruhan sepanjang tahun 2015 ini mencapai 60o miliar dolar AS. Juinlah ini akan membantu mengimbangi tekanan anus keluar portofolio."

Sependapat dengan Liu, Want Tao, ekonom UBS, mengungkapkan data perdagangan September menjadi indikasi ekonomi Cina lesu. "Peningkatan seperti yang terjadi pada kuartal kedua tak terjadi lagi. Perlu kebijakan yang bisa mendongkraknya."

Berdasarkan data tahunan, ekspor Cina sejak 2005 hingga 2014 selalu melonjak, kecuali pada 2009 yang merosot sampai 16 persen. Peningkatan ekspor sejak 2012 hanya satu digit, sementara pada tahun-tahun sebelumnya bisa melonjak hingga dua digit.

Nilai ekspor cenderung melonjak, tetapi angka peningkatannya keel Sebagai contoh, pada 2010 nilai ekspor melonjak 31,3 persen, lalu menurun menjadi 20,32 persen (2011). Kemudian, pada 2012 hanya naik 7,92 persen. Dua tahun berikutnya hanya bertambah 7,82 persen (2013) dan 6,05 persen (2014).

Beruntung nilai impor Cina juga selalu lebihrendah ketimbang nilai ekspornya. Nilai impor juga cenderung naik, tetapi angkanya kecil. Itulah yang membuat perdagangan masill bisa berkontribusi terhadap laju ekonomi negara tersebut meski angkanya tak lagi fantastaik.
--
CINA SUDAH MENYALIP AS?
merika Serikat (AS) dan Cina boleh saja sedang mengalami perlambatan ekonomi. Bahkan, banyak yang menganggap mereka sudah terperangkap dalam krisis, terutama AS.

Tapi, tetap saja kedua negara yang menjadi nakhoda ekonomi dunia. Keduanya menjadi negara adidaya, paling tidak berdasarkan kekuatan ekonomi masingmasing. Pantastah terjadi riak kecil di sana bagai gempa di negara-negara lain.

Kekuatan Cina dalam percaturan global tentu menggembirakan. Mengapa? Setelah Uni Soviet hancur pada 1991 Wu, sangat berbahaya bila AS tampit sendirian sebagai negara superpower.

Cina bahkan belum mampu secara penuh menyeimbangi kekuatan AS, baik dari sisi geopollIik, militer, pertahanan dan keamanan, maupun ekonomi secara keseluruhan. Baru pada saat-saat sekarang ini Cina mutai mampu menggertak dunia dan berani berhadapan dengan AS, terutama dengan kemajuan ekonominya meski negara tersebut belum masuk level negara maju.

Dari sisi ekonomi, Cina bisa dianggap tebih kuat ketimbang AS. Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) dengan tegas menyatakan, Cina telah menyalip ekonomi AS. Menurut IMF, produk domestik bruto (PDB) Cina berdasarkan keseimbangan kemampuan berbelanja atau purchasing power parity (PPPI sejak 2014 sudah metewati AS.

PDB Cina pada 2014 berdasarkan PPP sudah menembus 18,1 tritiun dolar AS, sedangkan AS 17,3 tritiun dotar AS. Padahal, pada tahun sebelumnya PDB Cina berdasarkan kategori PPP masih 16,6 tritiun dotar AS, atau terpaut 78,15 miliar dolar AS dari PDB AS yang mencapai 16,7 tritiun dotar AS.

Apa artinya? Dengan perhitungan PPP, maka ekonomi Cina lebih besar ketimbang AS. Diperkirakan hingga tahun-tahun mendatang ekonomi AS akan sulit menyamai, apalagi melampaui Cina sesuai dengan kategori ini.

IMF lebih senang menggunakan perhitungan PPP ketimbang PDB dengan harga yang berlaku saat ini. Apa alasannya? "Logikanya sederhana," demikian IMF memberikan atasan.

Menurut IMF, harga yang bertaku pada setiap negara tidak sama. Sebagai contoh, sebuah baju harganya akan lebih murah di Shanghai, Cina, ketimbang di San Francisco, AS. Karena itulah, tak masuk akal membandingkan negara dengan negara tainnya berdasarkan harga yang berbeda.

Memang mungkin ada seketompok orang di Cina yang bisa meraih pendapatan sedikit lebih besar ketimbang orang AS. Tapi, tak masuk akal bita selalu mengonversi pendapatan dari negara lain dengan dolar AS, seperti pendapatan orang Cina yang menggunakan yuan, lalu disamakan ke mata uang dolar AS.

Pada akhir 2014, produk domestic bruto Cina sudah mencapai 16,48 persen dari total PDB dunia (18,1 tritiun dolar AS), sedangkan AS 16,28 persen. Memang masih tipis kontribusi PDB kedua negara. Akan tetapi, pada masa-masa mendatang kemungkinan jaraknya makin Aar. Pada 2020 saja, diperkirakan PDB Cina sudah mencapai 28,9 tritiun dotar AS,.sementara AS 22,3 triliun dolar AS.

Menurut pengamatan BBC, ini pertama kalinya AS kehilangan titel sebagai negara terkuat di dunia selama lebih dari 140 tahun terakhir "Gelar terse- but sudah diambit Cina," tulis BBC, beberapa waktu lalu.

Daily Mail menyebut PDB Cina mencapai 17,6 triliun dolar AS pada 2014, sementara AS 17,4 tritiun dotar AS.

Dengan demikian ekonomi Cina tebih besar 0,2 triliun dotar AS dari ekonomi Cina. IMF memprediksi ekonomi Cina akan mencapai 27 triliun dolar AS pada 2019.

AS menjadi pemimpin kekuatan ekonomi dunia sejak mengambil alih dari Inggris pada 1872. Artinya, AS kehitangan gelar yang tetah diraih dan dipertahankannya selama 142 tahun.

Dengan fakta tersebut, sangat wajar Cina bisa menjadi biang krisis bagi negara lain. Negara-negara yang selama ini bergantung pada ekonomi Cina tentu sudah merasakannya. Banyak mitra Cina yang akan menelan pil pahit karena nitai investasi dan perdagangan merosot.

Memperkuat komitmen kerja sama bilateral menjadi kunci untuk menghindari tekanan tersebut. Cina tetap menjadi market yang menjanjikan, tetapi pada saat yang sama juga bisa menjadi pemangsa yang mematikan. ■ rakhmat hadi sucipto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar