11 Nov 2015

Cina Mulai Mengancam

REPUBLIKA 11/11 Page 25, -- Negara ini tidak hanya melayani pasar domestik, tetapi juga mengincar market asing.

Kebutuhan energi, terutama listrik di Cina dari waktu ke waktu main besar. Ada banyak faletor yang menyebabkan nya.

Jumlah penduduk Cina yang sudah 1,4 miliar jiwa tentu menjadi salah satu faktor utamanya. Tapi, apa hanya jumlah penduduk begitu besar yang menjadi pemicunya? Tentu saja tidak.

Cina membutuhkan energi dalam jumlah besar demi memacu pertumbuhan ekonominya. Ambisi menjadi kekuatan besar dalam geopolitik dan militer global juga menjadi alasan negara ini harus memproduksi dan menyimpan energi dalam jumlah sangat besar.

Selama ini banyak pihak mengira Cina menjadi konsumen energi terbesar dunia. Karena itulah, banyak yang menuduh negara ini juga menjadi sumber emisi terbesar di dunia.

Bila berpatokan pada jumlah penduduk, tentu anggapan itu benar. Berdasarkan data US EIA, pada 2014 Cina menduduki urutan kedua sebagai pengguna energi primer di dunia dengan jumlah konsumsi energi mencapai 27.139 terawatt jam (TWh) atau 19,3 persen dari konsumsi global. AS menjadi konsumen terbesar, mencapai 27.591 GWh atau 19,6 persen.

Namun, Global Energy Statistical Yearbook 2015 menyebutkan, Cina sudah menjadi konsumen energi terbesar dunia, dengan total konsumsi mencapai 3.034 Mtoe pada 2014. AS berada pada posisi kedua dengan jumlah konsurivi 2.224 Mtoe.

Menurut the Energy Collective, emisi karbon dioksida (CO2) per kapita dari Cina masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan Jerman, Uni Eropa, dan Inggris. Total emisi yang disumbang Italia dan Spanyol saja nyaris sama dengan Cina. Emisi ini bisa menjadi cermin penggunaan energi, terutama yang berasal dari fosil.

Fakta tersebut menunjukkan, selama ini negara-negara maju, terutama AS dan Eropa, melakukan propaganda negatif terhadap negara-negara berkembang. Cina yang dianggap sebagai ancaman tentu menjadi salah satu sasaran mereka.

Jumlah CO2 ini sebanding dengan konsumsi energinya. Tercatat konsumsi minyak per kapita di Cina jauh lebih rendah dibandingkan dengan Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Amerika Serikat, dan Kanada.

Demi mengamankan kepentingan internasionalnya, Cina menginvestasikan proyek energi di lebih dari 50 negara. Dengan strategi ini, Cina mampu mengimpor tak kurang dari 6o persen minyak pada 2014 serta 32 persen gas alam dari beberapa negara.

Berdasarkan laporan Pentagon, Cina membeli 51 persen kebutuhan minyaknya dari Timur Tengah. Sekitar 43 persen pengiriman minyak impor ini harus melalui Selat Hormuz, sementara 82 persen pengiriman minyak impor melalui jalur laut ternyata via Selat Malaka.

Batu bara masih menjadi sumber utama energi listrik di Cina. Pada 2014, porsi kontribusi batu bara mencapai 72 persen (3.681 TWh). Gas masih kecil, hanya 2,0 persen (91 TWh). Sumber lainnya dari hidroelektrik (20 persen, 1.029 TWh), tenaga angin (3,0 persen, 148 TWh), serta sumber lain 1,0 persen (65 TWh). Peran PLTN Cina juga masih kecil, hanya menyumbang 3,0 persen dari total 5.145 TWh.

Konsumsi listrik di Cina terus meningkat. Pada 2012 konsumsinya naik 5,5 persen menjadi 4,9 triliun kWh. Diperkirakan pada 2013 konsumsinya bertambah 6,5-8,5 persen. Berdasarkan laporan China Electricity Administration (CEA), pada 2011 angkanya naik tinggi, mencapai 11,7 persen menjadi 6,693 triliun kWh. Pada 2010, konsumsinya masih 4,19 triliun kWh clan 74 persen (3,09 triliun kWh) di antaranya digunakan di industri.

Menurut International Atomic Energy Agency (IAEA), kontribusi energi nuklir di Cina masih kecil, hanya 2,4 persen atau sebesar 123,8 miliar kWh dari total produksi pada 2014. Konsumsi listrik per kapita di sana 3.510 kWh pada 2012. Diperkirakan pada 2030 konsumsi listrik per kapita di Cina melonjak menjadi 5.500 kWh per tahun dan naik lagi menjadi 8.500 kWh per tahun pada 2050.

Raksasa nuklir
Cina berencana membangun 110 pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hingga 2030 mendatang. Nilai investasi untuk mewujudkan proyek tersebut diperkirakan mencapai 78,8 miliar dolar AS atau setara dengan 500 miliar yuan. Bila proyek tersebut terealisasi, Cina akan melampaui Amerika Serikat yang hanya mempunyai 100 PLTN.

Dalam rencana pembangunan nasional Cina, disebutkan setiap tahun negara ini akan membangun enam sampai delapan PLTN hingga lima tahun ke depan. Laporan the China Times menyebutkan, Cina akan meningkatkan kapasitas tenaga listrik hingga 58 gigawatt (GW) sampai 2020, naik tiga kali lipat dari kapasitas 2014.

Cina saat ini mempunyai 23 PLTN yang aktif beroperasi dan 27 lainnya dalam tahap konstruksi. PLTN yang sedang dibangun Cina ini sepertiga dari total proyek PLTN yang sedang dibangun di seluruh dunia.

Lalu, apa pertimbangan Cina yang dengan agresif menambah PLTN tersebut? Pemerintah beralasan ingin mengembangkan energi yang bersih lingkungan dan memenuhi kebutuhan listrik rakyat. Pemerintah mengaku ingin segera mengurangi emisi karbon dioksida.

Tentu itu alasan manisnya. Sebenarnya, Cina akan terus memperkuat beragam industrinya, termasuk industri militer. Dengan PLTN, Cina bisa rnenyediakan energi listrik yang melimpah dan diperkirakan menyedot investasi yang tak terlalu mahal dibandingkan dengan investasi di sumber energi lainnya.

He Zuoxiu, seorang ahli fisika teoretis di Chinese Academy of Sciences, menilai negaranya belum menerapkan langkah-langkah yang cukup untuk mengembangkan teknologi dan fasilitas kontrol keamanan pembangkit listrik tenaga nuklir.

Empat negara, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Prancis, dan Rusia, yang memiliki lebih dari 50 pembangkit listrik tenaga nuklir, pun pernah menderita karena kecelakaan nuklir.

Menurut Zuoxiu, pemerintah seharusnya memikirkan kepentingan yang lebih besar dengan memilih energi alternatif, seperti tenaga angin dan pembangkit listrik tenaga air yang berlimpah di Cina, bukan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir.

Zhou Dadi, wakil direktur China Energy Research Society, mengungkapkan Cina menghasilkan hanya sekitar 2,0 persen dari total energi listriknya dari PLTN. Padahal, proporsi produksi listrik rata-rata global dari PLTN sudah mencapai 14 persen.

Menurut Dadi, dengan menggunakan tenaga nuklir, ketergantungan Cina terhadap sumber energi impor, seperti minyak dan gas, akan menurun. "Karena teknologi nuklir terkini dimiliki Cina, dan kontrol keamanannya juga ketat, kecelakaan serius tidak mungkin terjadi," kata Zhou.

Presiden Cina Xi Jinping berencana mengembangkan proyek PLTN dalam jumlah besar. Negara ini akan membangun enam hingga delapan reaktor baru setiap tahun dalam lima tahun ke depan. Dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita) ke-13, yang akan dimulai pada 2016, Cina akan menginvestasikan dana 500 miliar yuan (78,7 miliar dolar AS) untuk membangun PLTN di beberapa wilayah negara tersebut.

Pemerintah Cina berniat menjadikan energi listrik berbasis nuklir sebagai pilar kebijakan ekonomi mereka. Selain itu, Cina juga ingin mengembangkan PLTN untuk meningkatkan  kinerja pemerintah dan industri.

Menurut data European Nuclear Society, Cina saat ini menjadi produsen PLTN terbesar kelima dunia berdasarkan kapasitas setelah Amerika Serikat, Prancis, Jepang, dan Rusia. Di bawah komando Xi, Cina bermimpi menjadi generator energi listrik nuklir terbesar dunia, baik dari ukurari kapasitas maupun jumlah reaktor pada 2030 nanti.

Kapasitas energi nuklir Cina bisa naik menjadi tiga kali lipat atau menembus 58 ribu megawatt pada 2020 nanti dibandingkan dengan kapasitas 2014. Bila tercapai, Cina bisa menyamai kekuatan Prancis.

Membangun PLTN di Cina serta di beberapa negara berkembang lainnya, relatif mudah. Biaya pembangunannya pun dianggap lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Diperkirakan anggaran 10-15 miliar dolar AS sudah cukup untuk mendirikan sebuah PLTN baru.

Menurut survei Nuclear Energy Agency (NEA) 2015, investasi PLTN berbeda-beda di setiap negara. Investasi sebuah PLTN di Cina dengan teknologi combined-cycle gas turbines (CCGT) diperkirakan mencapai 691 dolar AS per kWe dengan discount rate 10 persen.

Hanya reaktor di Inggris yang bisa lebih murah, 574 dolar AS/kWe, tetapi mengaplikasikan teknologi open-cycle gas turbines (OCGT). Rata-rata di Eropa investasinya di atas 1.000 dolar AS per kWe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar