Ads Inside Post

Darmin: Indonesia Belum akan Masuk TPP



JAKARTA- Pemerintah menjelaskan bahwa saat ini belum akan bergabung ke dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). Menurut Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah masih mempelajari untung dan ruginya tergabung dalam kemitraan ini.

"Sebetulnya, Presiden tidak mengatakan akan masuk sekarang, melainkan bermaksud untuk masuk," kata Darmin di Istana Negara, Senin (2/11). Darmin menjawab wartawan soal pernyataan Presiden Joko Widodo saat bertemu Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, pekan lalu. Jokowi ketika itu mengatakan bahwa RI ingin bergabung ke TPP.

Saat ditanya apakah berarti Indonesia akan melakukan penjajakan dulu, Darmin menegaskan ini bukan penjajakan.

Menurut dia, pernyataan Presiden Joko Widodo itu bukan berarti masuk ke dalam kemitraan tersebut. Pemerintah, kata Darmin, tetap harus mempelajari dulu untung ruginya dan kalaupun akhirnya masuk, jangan sampai rugi.

Kalau Indonesia sendirian yang masuk, jelas Darmin, sebenarnya Indonesia dengan mudah bisa menjawabnya. Namun, sudah ada Vietnam di dalam TPP, jadi perhitungannya lebih rumit. "Kita harus lihat juga, dia (Vietnam) dapat apa, kita bisa kehilangan apa."

Terdapat empat anggota ASEAN yang telah sepakat bergabung dengan TPP.

Selain Vietnam, ada Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Negara lainnya adalah AS, Jepang, Australia, Kanada, Cile, Meksiko, Selandia Baru, dan Peru.

Menurut Darmin, pemerintah baru menyatakan bermaksud masuk TPP kepada AS dan tentu akan dipelajari dulu. Sekarang, Indonesia menunggu draf-draf tentang TPP. Namun, AS menyatakan draf itu masih dibahas di kongres.

Dengan demikian, draf baru bisa diserahkan setelah selesai dibahas dan disetujui kongres. "Jadi, kita belum bisa bahas kalau belum ada drafnya," kata Darmin. Presiden Joko Widodo menyinggung soal TPP dalam kunjungannya ke AS pada 26 Oktober 2015.

"Indonesia berkeinginan bergabung dengan TPP," kata Presiden saat pernyataan bersama dengan Presiden AS Barack Obama di Gedung Putib. Sebelumnya, Presiden meyakini jika bergabung dengan TPP, eskpor Indonesia bakal meningkat 20-30 persen.

Pada Jumat (30/10) lalu, Menlu Retno Marsudi menyatakan, Indonesia berharap dapat segera mendapatkan dokumen TPP untuk dipelajari. "Jadi, tidak tiba-tiba kita bergabung karena sampai sekarang dokumen itu kita belum punya," ujar dia.

Dia menjelaskan, sikap Pemerintah Indonesia dalam kemitraan tersebut adalah berniat bergabung setelah mempelajari dokumen proposalnya. Ada yang harus dijelaskan bahwa Indonesia bermaksud ikut TPP atau intent to, bukan akan atau dalam bahasa Inggrisnya, will.

Niat itu, jelas Retno, tentu setelah Indonesia mempelajari dokumen yang ada. Karena itu, setelah pemerintah memperoleh dokumen TPP, para menteri Kabinet Kerja segera menyusun kerangka kebijakan berdasarkan kemitraan tersebut.

Fokus ASEAN

Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, daripada masuk TPP yang menuntut kesiapan prima, sebaiknya Indonesia fokus dulu saja pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah di depan mata.

Apalagi, pemerintah masih melihat dan menghitung untung rugi kalau bergabung dengan TPP. Ia menjelaskan, TPP punya fokus pasar, seperti tekstil dan sawit. Namun, sebenarnya kalau ingin menguatkan pasar, di domestik dan pasar ASEAN juga besar.

Ironisnya, menurut Enny, di pasar domestik saja Indonesia belum mampu menjadi kekuatan yang tak terkalahkan. "Jadi, sebaiknya hadapi dulu yang ada di depan mata. MEA sudah dekat saja, sektor usaha masih kalang kabut," ujar Enny, kemarin.

Ia melanjutkan, yang harus diperhitungkan dari TPP adalah kesiapan Indonesia. Untung pasti ada, tapi apakah Indonesia siap dengan konsekuensi aturanaturan TPP yang ketat. Masalahnya, Indonesia belum punya hitungan menyeluruh soal TPP, termasuk perhitungan bagaimana memanfaatkannya agar dapat aneka keuntungan dari kemitraan perdagangan itu.

Kalau memang Indonesia memandang penting mengejar pasarAS, jelas Enny, lebih sederhana dengan melakukan kerja sama bilateral saja. Dengan begitu, kesiapan bisa dinegosiasikan sesuai kondisi. Sementara, kerja sama multilateral, seperti TPP, punya konsekuensi yang mengikat bersam m. "Dari hitungan sederhana saja, Indonesia banyak belum siapnya. Nanti Indonesia malah jadi pasar saja," kata Enny.

Menurut Enny, jangan membalik persiapan dan persaingan. Jangan karena Indonesia tidak mampu melakukan persaingan bebas, pembangunan kapasitas dipaksa. "Itu konyol. Bangun kapasitas dulu, baru kompetisi," kata Enny menegaskan.

ALDIAN WAHYU RAMADHAN, FUJI PRATIWI