Banyak negara yang akan mengurangi dan menutup PLTN.
“Atomkraft? Nein danke!” (Tenaga nuklir? Tidak, terima kasih!") Itulah nada protes kelompok yang tak setuju dengan penggunaan energi listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Jerman. Terasa ironis memang karena selama ini rakyat Jerman menikmati listrik yang melimpah dari nuklir.
Apakah ini bukti rakyat Jerman mampu melihat kepentingan masa depan yang lebih baik? Benarkah Jerman melihat nuklir tak lagi memberikan rasa aman dan nyaman bagi mereka? Atau mungkin ada alasan lainnya?
Beberapa analis menilai Jerman memutuskan untuk mengurangi dan akhirnya menghilangkan PLTN dari negara tersebut setelah tragedi reaktor nuklir di Fukushima Jepang pada 2011 lalu.
Wajar mereka berpendapat seperti itu karena pada Juli 2011 atau tiga bulan setelah kecelakaan reaktor nuldir Fukushima, pemerintah Jerman mengeluarkan pernyataan resmi akan menutup PLTN mereka secara bertahap hingga 10 tahun ke depan. Pada saat yang sama, pemerintah juga mengumumkan akan mengganti PLTN dengan energi yang lebih ramah lingkungan dan bersifat terbarukan.
Tentu beberapa ahli yang selama ini terlibat dalam proyek PLTN di Jerman tak setuju dengan pendapat yang menyatakan Jerman terpengaruh dengan kejadian di Fukushima. Apalagi, Jerman memang sudah s>ejak lama merancang revolusi energi melalui proyek "Energiewende" (Transisi Energi).
Manfred Fischedick, doktor dan guru besar di Wuppertal Institute, menyatakan proyek "Energiewende" tak dipengaruhi kasus di Fukushima. Menurut dia, proyek tersebut sudah muncul sejak 1980-an. "Diskusi tentang transisi energi ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an," ujar wakil presiden institute tersebut.
Bahkan, Fischedick mengaku tak hanya sebagai ilmuwan murni. Dia juga menjadi penasihat pembuat kebijakan (pemerintah) dan kalangan industri. "Sudah biasa kami mendiskusikan transformasi energi alternatif. Kami punya ilmuwan yang bagus di bidang ini dan juga mampu memberikan masukan pada pemerintah," tutus Fischedick beberapa waktu lalu, seperti dilaporkan the Guardian.
Negara-negara tetangga yang selama ini juga menggunakan PLTN tentu terkejut dengan langkah yang diambil Jerman. Apalagi, 20 persen energi listrik negara tersebut selama ini bersumber dari PLTN.
Tapi, sepertinya Jerman sangat serius dengan program energinya. Rakyat, ilmuwan, industriawan, dan pemerintah sudah satu komitmen. Lewat proyek "Energiewende" tersebut, Jerman tidak hanya ingin menutup operasi PLTN, tetapi juga bertekad memangkas emisi gas hingga 4o persen pada 2020 dan 80 persen pada 2050. Rencana berikutnya, pemerintah akan memfokuskan energi terbarukan agar bisa meny-uplai energi listrik hingga 8o persen di seluruh wilayah negara itu pada 2050.
Kanselir Jerman Angela Merkel menganggap rencana tersebut tak mengada-ada. Tapi, dia juga mengakui itu sebagai tugas yang sangat besar bagi pemerintah.
Dengan "Energiewende" tersebut, Jerman menjadi negara yang paling agresif meninggalkan energi nuklir. Empat tahun lalu, pemerintah mengumumkan akan menutup 17 petnbangkit listrik tenaga nuklir hingga 2022 mendatang. Sekarang sudah sembilan reaktor ditutup.
Prancis, negara yang paling banyak menggunakan energi berbasis nuklir, pun berkomitmen memangkas jumlah reaktor. Saat ini, rakyat Prancis masih bisa menikmati listrik dari PLTN hingga 75 persen. Namun, pada 10 tahun ke depan pemerintahalcan mengurangi porsinya menjadi 50 persen. Prancis dan Jerman berjanji akan menggantikan sumber energi nuklir dengan energi alternatif, terutama dari tenaga angin dan matahari.
Tapi, pengalihan energi di Jerman tentu membutuhkan waktu yang lama. Ketergan- tunaban Jerman dari PLTN selama ini luma- yari besar karena 20 persen energi listrik negara itu disuplai dari reaktor. Ketika Jerman menutup PLTN, mereka barns segera menggunakan energi dari sumber lain.
Kemungkinan energi listrik yang bisa cepat dipakai bersumber dari batu bara. Dengan demikian, porsi energi batu bara Bakal meningkat. Beberapa kalangan pun khawatir jumlah emisi karbon akan meningkat.
Tapi, itulah pilihan. Ada risiko yang barns ditanggung demi kepentingan yang lebih besar.
Protes lama
Sebenarnya masyarakat Jerman sudah sejak lama memprotes penggunaan PLTN. Aksi penolakan mulai aktif dan masif sejak 1980-an. Protes tersebut mulai membuahkan basil, terutama setelah pemerintah tak lagi mendukung PLTN. Saat ini, lebih dari seperempat (26 persen) listrik negara itu bersumber dari tenaga angin, matahari, dan sumber terbarukan lainnya, seperti hiomassa.
Transisi energi di Jerman terbukti tak mudah. Perubahan ini memaksa Jerman menggunakan sumber energi listrik batu bara hingga 44 persen, lebih banyak ketimbang dari sumber lainnya. Jerm4n memang bertekad meningkatkan penggtmaan energi terbarukan hingga porsinya mencapai 40-45 persen. Tapi, angka sebesarlitu direncanakan barn terwujud pada 2025.
Swedia juga menjadi raksasa energi nuklir. Selama puluhan tahun, 50 persen energi listrik mereka berasal dari PLTN. Negara ini juga akan mengikuti tetangganya, berkomitmen mengurangi pasokan listrik dari PLTN danmenggantinya dengan yangbersifat terbarukan.
Austria, Kroasia, Siprus, Denmark, Estonia, Yunani, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta, dan Portugal hingga kini belum memiliki satu pun reaktor nuklir. Swiss bertekad menutup total lima pembangkitnya hingga 2034, sementara Belgia akan menutup tujuh PLTN paling lambat hingga 2025.
The World Nuclear Industry Statut Report 2015 menyebutkan, hingga kini sudah 3o negara yang mengoperasikan PLTN atau berkurang satu negara dari tahun sebelumnya. Total yang sudah aktif mencapai 391 reaktor, bertambah tiga reaktor dari tahun sebelumnya. Seluruh PLTN tersebut berkapasitas 337 gigawatt (GW), bertambah 5,0 GW dari tahun lalu.
Jepang menjadi negara yang merasakan tamparan terbesar akibat bencana nuklir. Setelah bencana reaktor Fukushima, tak satu pun dari 43 reaktor di Jepang dioperasikan. Tentu ini sangat memukul seluruh rakyat Jepang. Apalagi, PLTN sempat menyumbang sumber energi yang besar di sana, mencapai 29 persen pada 2010.
Setelah musibah di Fukushima, praktis Jepang tak lagi bisa memanfaatkan energi listrik dari nuklir. Kebutuhan listrik negara ini kembali mengandalkan dari sumber fosil. Energi listrik berbasis fosil diperkirakan mencapai 90 persen. Gas alam cair menjadi sumber terbanyak, mencapai 48 persen, disusul batu bara (25 persen, minyak (16 persen), dan energi terbarukan 9,0 persen.
Berdasarkan laporan The Federation of Electric Power Companies of Japan (VEPCJ), Jepang sangat kewalahan tanpa PLTN. Mengapa demikian? Ini karena Jepang miskin sumber daya alam untuk diolah menjadi energi. Tercatat 96 persen pasokan energi utama mereka mengandalkan impor dari banyak negara. Bahkan, bila energi nuklir dimasukkan sebagai sumber listrik domestik, ketergantungan Jepang masib 82 persen.
Menurut FEPCJ, minyak masih mengambil peran hingga 5o persen suplai energi utama Jepang. Bahkan, nyaris 90 persen kebutuhan minyak Jepang diimpor dari Timur Tengah, kawasan yang secara politik tak pernah stabil. Mengandalkan impor listrik dari negara-negara tetangga juga sulit karena Jepang negara kepulauan.
Popularitas merosot
Secara urnum popularitas energi nuklir menurun di seluruh dunia. Di Amerika Serikat raja, sesuai studi Washington Post dan ABC pada April 2011, 64 persen rakyat AS menolak konstruksi baru PLTN. Survei lainnya yang dilakukan oleh CBS News pada Maret 2011, hanya 43 persen rakyat yang mendukung usulan pembangunan reaktor barn, menurun dari 57 persen pada 2008.
Dukungan pembangurtan reaktor di Chile juga merosot, hanya 12 persen yang setuju. Begitu pula pendapat di Thailand (16,6 persen), Australia (34 persen), Inggris (35 persen). Bahkan di Prancis sekalipun yang menjadi surga bagi PLTN karena tiga perempat energi listrik disuplai dari sumber ini, ternyata 57 persen rakyatnya menolak pembangunan reaktor baru.
Penolakan di Jepang lebih besar lagi. Sdrvei menyebutkan, 7o persen rakyat Jepang menolak kehadiran PLTN.
Jajak pendapat Ipsos MORI pada 2011 menyebutkan, 62 persen penduduk dari 24 negara menolak penggunaan energi listrik yang bersumber dari nuklir. Seperempat dari mereka berubah pikiran setelah melihat tragedi reaktor Fukushima Jepang.
Italia, Jerman, dan Meksiko menjadi negara yang paling keras menolak PLTN. Tercatat 8o persen masyarakat negara terse-but menrorotes keras Drovek PLTN di negara masing-masing. Hanya tiga dari 24 negara yang menyetujui kehadiran PLTN, yaitu India (61 persen), Polandia (57 persen), dan AS (52 persen). Di Inggris dan Swedia, yang setuju dan menolak masih 50-5o persen. Menurut Ipsos MOM, 67 persen masyarakat Prancis juga menolik kehadiran PLTN, sama dengan yang menolak di Australia.
Ternyata bencana reaktor nuklir Fukushima Jepang berimbas pada dunia. Opini publik berubah. Para ahli dan organisasi yang terkait langsung dengan proyek nuklir makin mengetatkan persyaratan konstruksi reaktor baru.
Setelah tak satu pun dari 48 PLTN di Jepang dioperasikan, kontribusi listrik dari PLTN dunia juga menurun dari 17 persen menjadi hanya 11 persen. Ini kontribusi PLTN terendah dalam 20 tahun terakhir.
Survei terakhir pada 2013 lalu yang dilakukan oleh surat kabar lokal Jepang Asahi menyebutkan, 6o persen responden menentang rencana pemerintah melanititkan program energi nuklir. Survei dari Jiji Press pada tahun yang sama juga menemukan hasil tak berbeda, mayoritas masyarakat negara itu menolak Jepang mengembangkan PLTN.
Tapi, benarkah PLTN tak lagi dilirik, apalagi setelah persyaratan pembangunannya makin ketat? Jawabnya tentu bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung dari setiap negara masing-masing.
Berdasarkan laporan dari Jonathan Cobb, ahli kimia analitik Asosiasi Nuklir Dunia, ada 70 PLTN baru yang sedang dalam proses konstruksi, jumlah terbanyak dalam 25 tahun terakhir. Bahkan, ada 500 proyek PLTN yang diajukan untuk mendapatkan izin konsttuksi.
Jepang kembali mengoperasikan dua reaktornya, yaitu Sendai 1 dan Sendai 2, yang berada di kota Satsumasendai di Distrik Kagoshima. Sendai i dioperasikan pada Agustus, sedangkan Sendai 2 mulai Oktober lalu. Mengapa negara ini tetap menggunakan PLTN meski mendapat tentangan dari banyak pihak?
Jepang memang tak mempunyai pilihan lain. Negara ini harus mengeluprkan anggaran lebih besar karena tak mempunyai suplai energi dari PLTN. Karena harus meneari alternatif energi, tagihan energi rumah tangga di sana melonjak hingga 20 persen dari rata-rata.
Kementerian Perdagangan Ekonomi dad Industri Jepang (METI) juga mencatat, ketergantungan Jepang terhadap energi fosil meningkat dari 6o persen sebelum bencana Fukushima menjadi 90 persen.
METI juga menyatakan, ekonomi Jepang terpukul. Karena impor bahan bakar fosil meningkat, neraca perdagangan pada 2011 mengalami defisit untuk pertama kali dalam 31 tahun terakhir. Lalu, pada 2013 defisitnya meningkat, mencapai rekor terbaru menjadi 11,5 triliun yen (97,5 miliar dolar AS).
Ali Izadi-Najafabadi, analis Bloomberg New Energy Finance, seperti dilaporkan Bloomberg, memperkirakan Jepang akan kembali mengoperasikan 8-10 PLTN pada tahun depan. Dengan perhitungan kasar, Junko Nishioka, ekonom Sumitomo Mitsui Banking Corp, menilai setiap reaktor mampu meningkatkan neraca perdagangan negara tersebut hingga 6o miliar yen (48o juta dolar AS) setiap tahunnya. Tahun lalu Jepang mencatat defisit 12,8 triliun yen, sementara pada semester pertama 2015 defisitnya 1,7 triliun yen.
Kebanyakan rakyat Jepang memang menolak pengoperasian, apalagi pembangunan PLTN baru. Tapi, mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Tuntutan hidup makin berat. Mereka pun akhirnya pasrah ketika pemerintah memutuskan memulai program energi nuklirnya.
Karena itulah, ketika pemerintah memutuskan melanjutkan program energi protes tak terns berlanjut.
Ads Inside Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ConversionConversion EmoticonEmoticon