Pro-kontra mencuat di kalangan masyarakat terkait Surat Edaran (SE) Kapolri No SE/06/X/2015 tentang Penanganan 'Ujaran Kebencian' (hate speech) di Ranah Publik. Ada tujuh bentuk ujaran kebencian disebut dalam SE: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong.
Semua tindakan ini memiliki tujuan atau berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Dalam SE dinyatakan, ujaran kebencian bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat/komunitas berbeda dalam aspek: suku, agama, ajaran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, difabel, dan orientasi seksual.
Ujaran kebencian bisa tersampaikan melalui berbagai media, antara lain, orasi kegiatan kampany,e (politikl, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.
Menurut SE yang ditandatangani Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015, persoalan ujaran kebencian kian mendapat perhatian masyarakat nasional dan internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan HAM. Karena itu, dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, akan berpotensi menimbulkan tindakan diskriminasi, kekerasan, atau penghilangan nyawa".
Menghadapi ujaran kebencian, Polri menetapkan prosedur penanganan. Jika tindakan preventif sudah dilakukan, tapi masalah tetap belum terselesaikan, penyelesaian dilakukan melalui penegakan hukum sesuai KUHP, UU No 1/2008 tentang ITE, UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan,Etnis, UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No 8/2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Penulis “Resonansi" ini menyambut baik SE Kapolri tersebut. Meski penerbitan SE itu boleh dibilang terlambat; beberapa tahun lalu dalam seminar tentang 'Hate Speech' di Mabes Polri Jakarta untuk menyambut Hari Bhayangkara, penulis menyarankan perlunya UU tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Namun, tampaknya berbagai pihak terkait kurang peduli terhadap masalah ini sampai kemudian Polri mengambil inisiatif dengan menerbitkan SE Kapolri tersebut.
Sejak masa pasca-Soeharto, khususnya masa euforia kebebasan, ujaran kebencian terlihat merajalela dan mewabah di Tanah Air. Wabah itu paling jelas terlihat di dunia maya dan media sosial. Orang dengan mudah menemukan berbagai bentuk ujaran kebencian, khususnya terkait SARA.
Ujaran kebencian juga sering terdengar dari mimbar agama, baik khutbah maupun pengajian. Tidak jarang khatib atau penceramah menyampaikan ujaran kebencian dengan menista kelompok lain, baik intra maupun antaragama, menuduh orang, kelompok, atau aliran lain sebagai thaghut dan sesat.
Mereka yang memberikan ujaran kebencian dalam ceramah dan khutbahlnya telah menyalahgunakan kebebasan berceramah agama di Indonesia. Negeri ini adalah ‘surga’ karena untuk berceramah tidak diperlukan izin. Padahal, di hampir seluruh negara berpenduduk mayoritas Muslim lain, orang tidak boleh memberi ceramah dan khutbah kecuali punya surat izin atau sertifikat dari lembaga resmi.
Hampir semua negara di dunia termasuk yang paling bebas, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat—memiliki UU atau peraturan lain tentang penanganan ujaran kebencian. Uni Eropa, misalnya, menerbitkan manual tentang ujaran kebencian; Anne Weber, Manual of Hate Speech (2011). Manual ini bertujuan memberikan panduan kepada para pejabat pemerintah, ahli, aktivis LSM, dan masyarakat tentang kasus ujaran kebencian dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi.
Dalam "Resonansi" pekan lalu (29/10/15) penulis menjelaskan, kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama (hurriyat al-ta’bir atau hurriyat al-ra’y) termasuk yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kebebasan berekspresi merupakan prasyarat kebebasan beragama.
Akan tetapi, masalahnya apakah kebebasan berekspresi harus berarti kebebasan liar tidak bertanggung jawab yang justru digunakan untuk penyiaran ujaran kebencian? Karena itu, masalahnya adalah bagaimana kebebasan berekspresi dapat diwujudkan secara bertanggung jawab.
Kebebasan berekspresi dan kebebbsan beragama bukan tanpa batas. Dalam kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama, terdapat hak orang lain untuk tidak dinista dengan berbagai bentuk ujaran kebencian.
Banyak ayat Alguran juga metarang penyebaranTaencian. Islam memberi hak kepada individu untuk menyatakan segala sesuatu asalkan ujaran itu tidak berupa penistaan (blasphemy}, fitnah, penghinaan, atau pernyataan yang menimbulkan kerusakan, permusuhan, dan penghilangan nyawa. Islam mendorong kebebasan berekspresi lewat pernyataan arif dan bijak, nasihat dan tausiyah yang balk dengan kesabaran, bukan kemarahan.
Kebebasan berekspresi dalam kebebasan beragama mesti dijaga bersamaan dengan penguatan rasa tanggung jawab. Karena itu, penggunaan kebebasan berekspresi untuk menista penganut agama lain justru merupakan tindak pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama.
Ads Inside Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ConversionConversion EmoticonEmoticon