Ads Inside Post

Fenomena Penyebar Hate Speech Dilihat dari Kacamata Psikologi



Fenomena hate speech atau ucapan kebencian jadi pembicaraan setelah Kepolisian Rrepublik Indonesia mengeluarkan surat edaran bahwa pelakunya dapat dikenai sanksi pidana. Hal ini dilatarbelakangi banyaknya orang terutama di media sosial yang sering mengeluarkan hate speech.

Pelaku penyebar hate speech memang seringnya menyasar isu-isu sensitif seperti suku, agama, ras, warna kulit, gender, dan kaum difabel. Polisi berharap tindakan bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Terkait hal tersebut, psikolog Elizabeth Santosa berkomentar bahwa memang orang yang sering menyebarkan hate speech punya masalah psikologis. Impulsif dan kurang percaya diri biasanya adalah sifat yang dimiliki seorang pelaku.

"Impulsif dalam artian nih orang kalau lagi pengin makan apa enggak berpikir panjang lagi langsung makan. Gampang ngikutin moodnya," ujar Elizabeth ketika dihubungi detikHealth dan ditulis pada Selasa (3/11/2015).

"Manajemen emosinya berantakan atau rendah dan cenderung rakus jadi enggak mau diam duduk lihat penjelasan dulu langsung gerak cepat. Reaktif, gampang terprovokasi dan tersulut," lanjut pengajar dari Swiss German University (SGU) ini.

Pendidikan pola pikir dan pengasuhan yang tepat menurut Elisabeth adalah cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terbentuknya sifat-sifat tersebut.

Sementara itu Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani Sani Budiantini Hermawan turut berkomentar bahwa fenomena ini semakin parah ketika masyarakat bereaksi terhadap pelaku. Jika masyarakat memang punya kematangan mental yang cukup maka ucapan-ucapan pelaku seharusnya tak membawa dampak banyak.

"Ketika kematangan suatu bangsa itu memang masih dianggap belum matang, memang hal-hal berbau negatif itu bisa menimbulkan dampak yang lebih besar. Bisa menular memperuncing konflik, membuat jarak antar kelompok," tutupnya.(fds/up)

Bawaan dan Faktor Lingkungan, Pendorong Seorang Penyebar Hate Speech


Orang yang cenderung senang menyebarkan ucapan kebencian atau hate speech terutama di media sosial biasanya punya latar belakang yang sama. Sifat mereka dikatakan terbentuk dari dua hal yaitu genetik dan lingkungan.

Psikolog pengajar dari Swiss German University Elizabeth Santosa mengatakan bahwa sifat impulsif dan manajemen emosi yang buruk pelaku hate speech bisa jadi merupakaan bawaan. Genetik menurutnya memiliki peran bagaimana pembawaan sifat seseorang dimulai dari anak-anak.

Namun, di luar hal tersebut faktor yang lebih besar adalah bagaimana lingkungan sekitar membentuk kepribadian seseorang. Pola asuhan orang tua akan memengaruhi bagaimana sifat seorang anak, lalu kemudian lanjut memasuki fase dewasa teman sebaya dan pasangan juga akan turut berkontribusi.

"Dua faktor yaitu bawaan genetik atau juga dipicu oleh lingkungan. Contoh ada orang yang memang dia baik, tapi dari dulu mama papanya seperti itu nah itu kan akan terbentuk juga kita," kata Elizabeth ketika dihubungi detikHealth dan ditulis pada Selasa (3/11/2015).

"Bisa istri atau orang-orang terdekat lain, ini memang memengaruhi pembentukkan karakter," lanjutnya.

Karena sifat penyebar hate speech bisa dibentuk, Elizabeth menganjurkan bahwa memang pendidikan mental dan pola pikir harus diterapkan sejak anak-anak. Hal ini bisa dipakai untuk melatih kedewasaan seseorang agar tak mudah terhasut terlebih di zaman yang bebas berekspresi seperti saat ini.

"Manusia itu harus punya mental yang baik dan pendidikan pola pikir yang juga baik. Itu lah manusia yang kita harapkan," pungkas Elizabeth.

Suka Sebarkan Hate Speech? Bisa Jadi Punya Gangguan Neurotik

Menurut psikolog seseorang yang kerap sebarkan ucapan kebencian atau hate speech memang memiliki masalah. Terlebih ketika kebencian terus berlanjut tak terkendali, maka kondisinya bisa disebut ada gangguan.

Dikatakan oleh Psikolog pengajar dari Swiss German University Elizabeth Santosa bahwa sifat seseorang penyebar hate speech yang reaktif sehingga mudah terbawa emosi bisa jadi karena faktor genetik dan lingkungan. Hal tersebut sebetulnya adalah sifat dasar, namun bisa menjadi tak sehat ketika sudah tak terkontrol.

"Manajemen emosinya berantakan atau rendah dan cenderung rakus jadi enggak mau diam duduk lihat penjelasan dulu langsung gerak cepat. Reaktif, gampang terprovokasi dan tersulut," kata Elizabeth ketika dihubungi detikHealth dan ditulis pada Selasa (3/11/2015).

"Ini bagian dari karakter diri. Kalau tak dikontrol sifat ini bisa kronis dan kalau lebih enam bulan enggak bisa nahan marah dan sebagainya itu masuk ke gangguan neurotik," lanjutnya.

Elizabeth menjelaskan bahwa gangguan neurotik adalah kondisi di mana seseorang memiliki masalah mental yang kronis namun masih bisa berfungsi normal seperti biasanya.

"Kondisi mentalnya gak bagus tapi bisa kerja terus punya anak atau istri. Enggak sehat mental secara holistik," pungkas Elizabeth.

Menurut Elizabeth untuk mencegah hal ini terjadi, pendidikan mental dan pola pikir bisa diterapkan sejak anak-anak. Orang terdekat dalam hal ini juga berperan penting karena sifat seseorang juga bisa terpengaruh oleh lingkungan sekitar.