Ads Inside Post

Surat Edaran Kapolri Perintah Internal



Pengguna media sosial tidak perlu khawatir karena polisi akan tetap mengacu ke KUHP dan UU ITE, Polri akan bertindak setelah ada aduan dari warga.

KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti menilai munculnya pro dan kontra mengenai surat edaran (SE) Kapolri untuk menangani ujaran kebencian (hate speech). merupakan hal yang wajar dan umum terjadi di masyarakat.

"Pro-kontra itu wajar saja. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju, dan ada pula yang merasa khawatir," katanya di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah, kemarin.

Namun, Kapolri menegaskan SE bernomor SR/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian itu ditujukan untuk internal anggota Polri. Tujuannnya anggota polisi mengetahui secara jelas bentukbentuk ujaran kebencian. Lalu, jika ada ujaran-ujaran kebencian, polisi harus tahu apa yang semestinya dilakukan.

Sebenarnya, kata Badrodin, dengan atau tanpa adanya SE itu pun setiap ujaran kebencian mesti ditindak. Dasarnya ialah KUHP dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama Pasal 156, 157, 310, dan 311. Dengan demikian, tanpa SE hate speech pun pasal-pasal itu tetap berAu dan bersifat mengikat.

Ujaran kebencian yang dimaksud, imbuh Badrodin, di antaranya berupa provokasi, penghasutan, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penistaan.

"Misalnya, jika ada orang yang bicara, `Silakan bakar', ini akan saya ratakan, sudah pasti akan ditindak. Kami polisi bisa saja memanggil yang bersangkutan untuk mengecek itu ujaran apa, dengan alasan apa mengatakan seperti itu, dan apa tujuannya, supaya kita tidak semena-mena." tegasnya.

Lebih lanjut, Kapolri mengatakan Indonesia merupakan negara demokrasi dan negara hukum. Di dalam negara demokrasi, orang boleh bicara dan berpendapdt apa saja. Akan tetapi, mereka tidak boleh melanggar hukum.

Pascapenerbitan SE tentang ujaran kebencian, kepolisian sudah mendeteksi 180 ribu akun di media sosial yang diduga menyebarkan ujaran kebencian. Saat ini, penyidik tengah menelusuri para pemilik akun tersebut. "Ada yang melakukan penelitian, ada 180 ribu akun yang kita cari, dan baru ketemu satu karena rata-rata adalah anonim," ungkap Kapolri.

Jangan risau
Para netizen tidak perlu merasa risau berlebih dalam beraktivitas di media sosial terkait dengan adanya SE ajaran kebencian. Selain ada upaya pencegahan, sanksi terhadap penyebar pun tidak terlalu berat.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan dalam menanggulangi kebencian di dunia maya, pihaknya tetap berpatokan pada UU ITE. Di sisi lain, Kemenkominfo telah merampungkan perubahan dua pasal krusial di UU ITE, yakni Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik lewat media sosial dan Pasal 45 ayat (1) tentang ancaman pidana yang mencapai enam tahun penjara.

"Pidananya enam tahun. Itu bisa tangkap duluan, baru ditanya (interogasi). Itu yang dianggap bisa di-abuse. Kita ubah (sanksi maksimalnya) menjadi di bawah lima tahun. Jadi, tidak bisa lagi ditangkap baru ditanya," jelasnya.

Pasal pencemaran nama baik via daring, tambah Rudiantara, bukan lagi termasuk jenis delik biasa. Pasal itu dimasukkan ke delik aduan. Artinya, proses hukum butuh adanya laporan dari pihak yang dirugikan.

"Kalau (UU ITE) yang kemarin kan enggak. Enggak perlu aduan, bisa aja bisik-bisik atau apa (ke polisi), tangkep gitu lowh." ujarnya.

Rudiantara juga menyatakan upaya menangkal kebencian di medsos akan dilakukan lewat kerja sama dengan perusahaan yang mempunyai 76 juta pengguna aktif di Indonesia, Facebook. (Kim/P-3/TOSIANI)