KOMPAS 2/11 Page 4, -- Masifnya ujaran kebencian yang tersebar di media sosial terjadi karena adanya pembiaran, baik oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat pengguna media sosial. Akibatnya, kelompok ataupun perseorangan yang kerap menyebarkan ujaran kebencian dan ingin memecah belah persatuan terlihat lebih banyak dibandingkan dengan pihak yang peduli terhadap kebinekaan bangsa ini.
"Selama ini, tidak ada tindakan tegas dari penegak hukum terkait ujaran kebencian yang beredar di ruang publik, khususnya di media sosial. Dampaknya, kelompok atau orang yang gemar mengunggah ujaran kebencian itu merasa aman dan pasukannya semakin bertambah sehingga terlihat cukup banyak," ujar pegiat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto, di Jakarta, Minggu (1/11).
Sehubungan dengan hal itu, Damar mengapresiasi munculnya surat edaran yang dikeluarkan Kepolisian Negara Republik Indonesia awal Oktober lalu terkait penanganan ujaran kebencian. Ia berharap melalui surat edaran tersebut, kelompok penyebar kebencian terhadap suku, agama, ras, golongan, budaya, dan etnis yang aktif di media sosial dapat ditanggulangi sehingga tidak merusak nilai-nilai kebinekaan di negeri ini.
Mataharitimoer dari Indonesia Center for Deradicalization and Wisdom (ICDW) punya harapan yang sama. Ia bahkan mendorong para netizen untuk mulai bergerak. Jumlah netizen yang memiliki semangat menjaga kebinekaan jauh lebih banyak. Hanya saja, mereka umumnya cenderung pasif dan menghindari konflik sehingga membiarkan saja ujaran kebencian tersebut beredar makin luas di jejaring media sosial.
"Sudah waktunya untuk tidak tinggal diam. Biasanya, orang- orang baik yang peduli ini malas berkonflik. Sebenarnya, ada langkah lain yang dapat dilakukan untuk menekan gejolak kelompok tersebut, yaitu dengan melaporkan akun tersebut kepada pengelola media sosial dengan alasan konten yang diunggah tak seusai atau dapat memicu pertikaian. Mulai sekarang jangan diam," papar Matahari.
Dari Surabaya, Jawa Timur, dilaporkan, mantan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di hadapan komunitas Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Jatim juga menyerukan hal serupa. Kelompok masyarakat mayoritas yang berpihak pada kebaikan bangsa hendaknya tidak diam dan harus saling memperkuat.
Menurut Andi, kelompok yang ingin memaksakan keyakinan dan kebenarannya sendiri sebenarnya hanya kecil/sedikit. Namun, mereka bertindak penuh semangat lalu bersuara keras di media sosial seolah-olah didukung banyak orang.
Suara orang dari kelompok kecil ini menjadi tampak besar karena kesalahan mayoritas warga Indonesia sendiri. Mayoritas orang baik di Indonesia diam saja menyaksikan ulah mereka.
"Maka, sejak sekarang mayoritas itu jangan diam, melainkan bersuara dan bertindak. Bukan bersuara dan bertindak anarkistis, melainkan bahu-membahu bersama pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) memecahkan masalah bangsa," papar Andi.
Menurut Andi, berdasarkan informasi intelijen, saat ini terdapat 200 orang yang sudah lulus pelatihan terorisme dam sanggup melakukan bom bunuh diri. "Harus dicegah jangan sampai 200 orang yang disebut minoritas ini bisa memengaruhi kehidupan 200 juta penduduk Indonesia. Jangan 200 juta kalah oleh 200 orang pengebom bunuh diri," ujarnya.
Direktur Program Imparsial Al Araf mengakui adanya kelompok ekstrem di dalam negeri dan bisa berevolusi menjadi gerakan teror. Untuk itu, upaya deradikalisasi perlu dilakukan.
(IAN/ODY/ONG)
Ads Inside Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ConversionConversion EmoticonEmoticon