dsfdsfdsf

Indonesia Belum Siap Hadapi TPP dan MEA



Sepanjang 2015, ada Liga isu yang menonjol dalam hubungan Indonesia dan kawasan. Dua isu masuk ke ranah ekonomi, yaitu perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP) dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Berta satu isu lain adalah sengketa wilayah, yaitu Laut Cina Selatan.

Sengketa Laut Cina Selatan (LCS) memang bukan hal baru. Namun, intensitas ketegangan akibat LCS ini meningkat tahun ini. Amerika Serikat pun tak malu-malu menunjukkan keterlibatannya dengan berpatroli di sekitar LCS atau bahkan menempatkan perlengkapannya unLuk meng ntal LCS.

Dua isu, yaitu TPP dan MEA, bersinggungan dengan kepentingan Indonesia. Sedangkan, LCS tidak melibatkan Indonesia secara [angsung, tapi melibatkan empat negara ASEAN. Sejauh manakah ketiga isu tadi bergolak sepanjang 2015? Berikut paparannya.

Perdagangan bebas lintas wilayah mulai berlaku 2016 ini. Salah satunya perjanjian perdagangan bebas bentukan Amerika Serikat yang disebut.

Trans Pacific Partnership (TPP). TPP ini beranggotakan 12 negara Asia Pasifik yang terdiri atas Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Peru, Vietnam, Cile, Brunei, Singapura, dan Selandia Baru. Negara-negara tersebut mewakili 40 persen produk domestik bruto (PDB) dunia.

Menjelang penutupan KTT ASEAN November 2015 lalu, Presiden AS Barack Obama menghadiri pertemuan puncak yang lebih besar selain KTT ASEAN di Kuala Lumpur, yakni bertemu dengan para anggota TPP. Pemerintahan Obama mendorong keras untuk mencapai TPP tersebut.

"Ini adalah contoh utama dari Amerika bekerja sama dengan mitra kami untuk membentuk dunia yang kita inginkan bagi generasi mendatang," katanya.

Hal itu bukan tanpa alasan mengingat sangat diuntungkannya Amerika. Berdasarkan laman resmi Kantor Perdagangan AS atau US Trade Representative, TPP menghilangkan lebih dari 18 ribu perbedaan pajak bagi produk ekspor yang melabelinya dengan made in America.

Menurut pengamat hubungan internasional, Hikmahanto Juwana, bagi beberapa negara anggota di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Singapura, TPP cukup menguntungkan. Singapura meski bukan pasar yang besar, tetapi dijadikan markas bagi perusahaan-perusahaan mancanegara untuk penetrasi di Asia Tenggara. Sementara, Vietnam dianggap cukup ideal sebagai tempat produksi.

"Indonesia memang pasar yang besar, tetapi Indonesia bukanlah tempat produksi," kata Hikmahanto kepada Republika.

Pasar Indonesia besar karena empat alasan, jumlah penduduk yang besar, penuduk yang merupakan konsumen memiliki kesukaan yang mudah diubah, dan pemerintah yang kurang pandai memainkan ketentuan-ketentuan dalam hukum perdagangan internasional untuk menjaga pasarnya. "Indonesia akan dibanjiri barang-barang impor," ujarnya.

Melihat fakta ins, ia melanjutkan, tidak dapat dimungkiri Indonesia tidak banyak diuntungkan bila masuk dan menjadi anggota TPP. Bahkan, jika para pelaku usaha Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk luar, mereka akan segera gulung tikar. "Ini berarti penciutan lapangan kerja," kata Hikmahanto.

TPP ramai diperbincangkan setelah Presiden Indonesia Joko Widodo pada 2015  lalu mengeluarkan pernyataan mengejutkan yang mengatakan Indonesia berniat masuk dalam TPP. Pernyataan tersebut muncul saat bertemu dengan Presiden Barack Obama.

Padahal, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2012 lalu dengan tegas menolak bergabung dengan perjanjian yang diselesaikan pada 5 Oktober 2015 itu.

Indonesia tidak mengikuti proses pembentukan TPP, yang artinya tidak ada kesepakatan untuk memproteksi kepentingan Indonesia. Seandainya Indonesia bergabung, hanya akan mengekor segala aturan yang telah disepakati.

"Urgensi pun sernakin tidak ada mengingat Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)," katanya.

Indonesia 'kalah' siap
Para pemimpin negara anggota ASEAN menyepakati MEA untuk menciptakan sebuah entitas ekonomi terpadu pada akhir Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara Asia Tenggara (KTT ASEAN) November 2015 lalu. Komunitas formal ini mencoba untuk membuat gerakan perdagangan lebih bebas dengan modal populasi sebesar 625 juta orang. Sementara, output ekonomi gabungan mencapai 2,6 triliun dolar AS. Angka ini membuatnya sebagai ekonomi terbesar ketujuh di dunia.

Dalam praktiknya, ASEAN telah hampir menghilangkan hambatan tarif di antara 10 negara anggotanya. "Kami sekarang harus memastikan bahwa kami menciptakan pasar dan basis produksi tunggal barang dan jasa yang lebih bebas," kata Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada upacara penandatanganan.

Namun, bagaimanapun ASEAN tidak memiliki batas waktu tertentu untuk mencapai nol tarif. Menyepakati MEA bukan berarti perdagangan bebas tanpa hambatan, ada beberapa rintangan, seperti korupsi, infrastruktur yang tidak merata, serta biaya transportasi dan pengiriman yang tidak merata. Sebuah jurang ekonomi yang luas membagi ekonomi di Asia Tenggara dengan pendapatan kaya dan menengah, seperti Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Filipina, dengan empat anggota yang kurang maju, Vietnam Komunis, Laos, Myanmar, dan Kamboja.

Sayangnya, ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan Indonesisa tidak siap untuk MEA. Kendati demikian, telah ditandatanganinya perjanjian tersebut membuat Indonesia tidak boleh menghambat barang-barang yang akan masuk ke Indonesia. "Karena sudah ada free trade agreement, menandatangani perjanjian bahwa di negara ASEAN tidak dikenakan tarif lagi," katanya.

Menurut Enny, negara ASEAN lainnya juga tidak seluruhnya siap secara penuh dalam menghadapi MEA, tetapi persiapan mereka diakui lebih dari Indonesia.

"Sayangnya logistik kita kan mahal. Ini menjadi tantangan bagi kita," kata Enny.

Selain logistik termahal di ASEAN, suku bunga Indonesia juga diakui Enny termahal di antara negara ASEAN lainnya. Pun, dengan biaya energi dan tarif dasar listrik (TDL) Indonesia yang lebih mahal dari negara tetangga, Malaysia, meski harga tenaga kerja di Indonesia lebih murah.

"Seandainya para pengusaha Indonesia tidak mempunyai daya saing, Indonesia hanya akan jadi objek pasar dari Negara-negara mitra dagang kita," ujarnya.