dsfdsfdsf

Rene L Pattiradjawane, "Kolonialisasi Maritim RRT di Benua Asia"



KOMPAS 16/12 Page 10, -- Klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan menjadi semakin tidak terkendali dan meluas menjadi persoalan bilateral, regional, dan global. Masalah di laut ini tidak hanya menjadi persoalan Tiongkok dan empat negara anggota ASEAN, tetapi juga turut menyeret Amerika Serikat, Australia, dan negara lain.

Pernyataan bersama Jepang-India, yang disebut sebagai Vision 2025, berisi pernyataan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan PM India Narendra Modi—yang bertemu di New Delhi pekan lalu—tentang Laut Tiongkok Selatan (LTS), yang dikategorikan sebagai perairan internasional. Bahkan, kedua pemimpin Asia ini memutuskan untuk melakukan konsultasi reguler terkait dengan isu keamanan maritim dan alur laut komunikasi (SLOC) di LTS.

Bersamaan pernyataan bersama India-Jepang, Australia pun ikut mengirim pesawat patrolinya ke perairan LTS atas nama kebebasan bernavigasi dan lintas udara, seperti diatur Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Pernyataan dan aktivitas pesawat dan kapal militer di LTS ini menunjukkan tak berhasilnya dicapai resolusi konflik meredakan ketegangan di LTS.

Eskalasi campuran politik, persoalan hukum internasional, ataupun konflik pengaruh kepentingan ini didorong beberapa faktor terjadinya perubahan dinamis di LTS. Pertama, perilaku asertif dan agresif RRT di wilayah LTS, serta posisi keras kepala para penguasa di Beijing, telah mendorong adanya kebersamaan atas nilai dan norma hukum internasional.

Masalah ini yang tidak menjadi pertimbangan strategis RRT ketika Filipina mengajukan tuntutan arbitrase internasional di Den Haag, Belanda, yang memutuskan memiliki kewenangan memeriksa gugatan Manila di LTS. Bahkan, secara sengaja RRT mendorong agar dokumen mengikat tentang tata perilaku (code of conduct) di LTS dibahas berlarut-larut tanpa penyelesaian. Hal ini memaksa ASEAN terpecah dalam sikap pro dan kontra RRT akibat kepentingan nasional masing-masing.

Kedua, pembangunan ”pulau palsu” atas karang dan beting kosong dalam skala masif memicu kesimpulan adanya bentuk kolonialisasi maritim, ketika RRT tidak bisa menjelaskan kedudukan sembilan garis putus-putus yang diklaim hanya sebagai ”hak sejarah” tanpa penjelasan hukumnya. Kolonialisasi maritim yang ingin dilakukan RRT dilihat sebagai keinginan menguasai SLOC strategis di kawasan LTS, termasuk lalu lintas pesawat dan kapal militer asing.

Dan ketiga, berbagai mekanisme struktur arsitektur keamanan yang dirancang ASEAN, seperti Forum Regional ASEAN (ARF), KTT Asia Timur (EAS), ataupun ADMM+ (pertemuan para menteri pertahanan ASEAN dan mitra dialog), tidak mampu menyelesaikan kesepakatan atas perilaku asertif RRT. Bahkan, condong diblokir untuk mengeluarkan pernyataan.

Pernyataan bersama bilateral menjadi modus baru melakukan refleksi perilaku negara besar lain dalam hubungan internasional, seperti pernyataan bersama Jepang-India. Tidak mengherankan jika pertemuan bilateral Indonesia-Jepang dalam format 2+2 (antara menlu dan menhan kedua pihak) juga bisa mengeluarkan pernyataan sejenis sampai persoalan kolonialisasi maritim ini memiliki kejelasan yang memadai.