Ads Inside Post

Perketat Kepemilikan Media Penyiaran



JAKARTA, KOMPAS — Publik meragukan independensi media penyiaran saat ini karena kepemilikan media kian memusat pada beberapa pemodal saja. Saat bersamaan, lembaga penyiaran publik justru terus diabaikan. Situasi itu terjadi akibat lemahnya penegakan hukum tentang penyiaran.

Pendapat tersebut disampaikan Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media Amir Effendi Siregar, dalam jumpa pers Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) bertajuk "Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran: Sistem Siaran Berjaringan Bias Jakarta", di Jakarta, Rabu (8/4). Menurut Amir, ada kelemahan pemahaman terhadap konstitusi dan demokrasi, terutama tentang UU Penyiaran, inkonsistensi peraturan turunan UU, dan kurang profesionalnya media terkait kepemilikan.

Untuk mengatasi kondisi itu, pemerintah dituntut memperketat aturan kepemilikan yang menggunakan frekuensi milik publik. Sebuah badan hukum atau lembaga penyiaran tidak boleh memiliki lebih dari satu stasiun di satu wilayah siar. "Konsentrasi kepemilikan harus diperketat dengan menggunakan undang-undang khusus tentang penyiaran, bukan undang-undang monopoli," kata Amir.

Amir menyebutkan, RCTI, Global TV, dan MNC di Jakarta berada dalam satu grup. Trans TV dan Trans7 juga dikelola satu grup. Begitu pula dengan grup SCTV dan Indosiar serta grup Tvone dan ANTV.

Menurut anggota SIKA dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, Nawawi Bahrudin, UU No 32/2002 tentang Penyiaran belum merinci mekanisme kepemilikan media penyiaran. Akibatnya, turunan dari aturan tersebut ditafsirkan berdasarkan kepentingan sehingga memberi peluang monopoli kepemilikan. "Pelarangan monopoli kepemilikan harus diatur lebih ketat dan rinci," ujar Nawawi.

Monopoli kepemilikan media penyiaran tak terlepas dari masih digunakannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Teresterial yang melanggengkan pemusatan kepemilikan. Padahal, UU itu telah dibatalkan melalui keputusan Mahkamah Agung karena bertolak belakang dengan UU Penyiaran. Artinya, demi memberikan kepastian hukum, peraturan menteri yang ada harus dicabut.

Dengan dasar tersebut, anggota SIKA, sekaligus peneliti Centre for Innovation Policy and Governance, Leonardus Kristianto Nugraha, meminta DPR untuk mengembalikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana diamanatkan UU Penyiaran. Jalankan Sistem Siaran Berjaringan (SSJ) serta batasi secara ketat kepemilikan media.

Terkait dengan SSJ, Leonardo mengingatkan, perlu mekanisme yang mampu mengadopsi dua asas utama penyiaran yang demokratis, yaitu keragaman kepemilikan dan keragaman konten. Pasal 20 dan Pasal 31 Ayat 1 dari UU Penyiaran menyebutkan kewajiban stasiun televisi swasta untuk melaksanakan prinsip siaran berjaringan. Namun, penerapan pasal tersebut tidak berjalan baik. "Peraturan-peraturan yang ada cenderung menguntungkan pemain lama sehingga terkesan melanggengkan konsentrasi kepemilikan," ujarnya.


Muhammad Heychael, anggota SIKA dari Remotivi, menyoroti lemahnya posisi KPI saat ini akibat tidak dibekali instrumen hukum yang memadai untuk memberi sanksi. Peran KPI dikerdilkan sebagai pengawas isi siaran. Padahal, jantung dari penyiaran adalah izin. (B02)

1 komentar:

avatar

terimakasih banyak, sangat menarik sekali...