Pihak Muslim dan Nasrani tak sepakat soal perizinan gereja dan undung-undung.
REPUBLIKA 15/10 Page 9 — Pembakaran gereja di Aceh Singkil, Aceh, pada Selasa (13/10) dinilai tak terlepas dari persoalan perizinan rumah ibadah di daerah tersebut. Pihak berwenang dinilai mengabaikan tanda-tanda akan munculnya kericuhan akibat masalah perizinan tersebut.
"Ya laporannya bahwa ada dulu izin untuk gereja. Kemudian bertambah menjadi 17, mereka setuju untuk dikurangi. Cuma belum dijalankan keputusan," kata Wakil Presiden Jusuf kalla (JK) di Masjid Istiglal, Jakarta, Rabu (14/10).
Menurut dia, pemerintah telah mengeluarkan aturan terkait pendirian tempat ibadah. Aturan tersebut berupa surat keputusan bergama (SKB) menteri agama dan menteri dalam negeri. "Bahwa untuk mendirikan rumah ibadah harus ada jamaah atau warga sekian besar, setuju oleh warga lainnya. Itu harus dihormati juga," kata dia.
Jaringan Survei Inisiatif (JSI), LSM yang menyoroti isu-isu keamanan di Aceh, mengiyakan bahwa soal perizinan rumah ibadah jadi salah satu pemicu pembakaran gereja: Menurut peneliti JSI, Aryos Nivada, pada 1979, menyusul kerusuhan berbau SARA di Aceh Singkil, dibuat kesepakatan bahwa di wilayah itu hanya boleh berdiri satu gereja dan empat undung-undung (rumah untuk beribadah) bagi penganut agama Kristen.
Gereja yang dizinkan pembangunannya adalah Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Kuta Kerangan. Sedangkan, undung-undung yang mendapat izin digunakan sebagai tempat ibadah adalah GKPPD Biskang di Danau Paris, GKPPD Gunung Meriah di Gunung Meriah, GKPPD Keras di Suro, dan GKPPD Gecih di Simpang Kanan.
Kendati demikian, jumlah gereja dan undung-undung yang dibangun di Aceh Singkil tents bertambah. Pada 2012, terdata sebanyak 15 gereja dan undungundung di luar bangunan yang diberi izin tersebut.
Hal tersebut diprotes warga Muslim yang merasa bahwa pembangunan rumah ibadah-rumah ibadah itu menyalahi perjanjian pada 1979, Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 23 Tahun 2007, serta surat keterangan bersama menteri.
Pada Mei 2012 lalu, Pemkab Aceh Singkil menggelar diskusi bersama antara para pemangku kepentingan. Dan pertemuan itu disepakati penyegelan 15 gereja dan undung-undung tak berizin. Belakangan, digelar lagi pertemuan yang merekomendasikan pembongkaran sejumlah gereja dan undung-undung pada 19 Oktober nanti. Sebagian pihak tak sepakat dengan tenggat itu.
Aryos menambahkan, ada lagi faktor yang memicu keresahan umat Muslim di Aceh Singkil, yakni janji dari pemegang kekuasaan setempat yang akan memberi izin bagi sejumlah bangunan gereja dan undung-undung di luar yang disepakati pada 1979. "Empat hal itu yang mendorong kejadian kemarin," kata Aryos.
Ia mengatakan, ke depannya harus dirancang rekonsiliasi yang berangkat dari persoalan pendirian rumah ibadah itu. Pembentukan rumah ibadah bagi non-Muslim, menurut dia, juga harus dikomunikasikan secara transparan.
"Dan sangat diperlukan penyadaran masyarakat agar dapat menyelesaikan konflik dengan pendekatan musyawarah," kata dia. Persoalan rumah ibadah tersebut, kata dia, membuka celah bagi oknum-oknum tertentu yang ingin Aceh selalu menjadi lahan konflik.
Di lain pihak, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Henriette Hutabarat Lebang mengatakan, tidak ada maksud gereja untuk tidak mengurus perizinan. "Pada kenyataanya, untuk mengurus perizinan tempat ibadah sangat sulit," ucap dia. Bahkan, lanjutnya, seling kali perizinan tidak dapat diperoleh meski sudah diupayakan secara maksimal.
Ia mengatakan, berdasarkan kesepakatan antara Pemkab Aceh Singkil dan masyarakat, gereja yang tidak dibongkar harus mengunis perizinan dengan tenggat waktu selama maksimal enam bulan. "Ini adalah hal yang mustahil," katanya.
Meski demikan, is berharap seluruh umat Kristen di Indonesia tidak terprovokasi . Tak seperti Muslim, umat Kristiani tak bisa bersembahyang di senibarang gereja. Mereka mesti menghadiri kebaktian di gereja denominasi masing-masing. [DESSY SUCIATI SAPUTRI, ERIC ISKANDARSJAH]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar