KOMPAS 21/10 Page 10, -- Perkembangan persaingan Laut Tiongkok Selatan antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok mengarah pada adagium ”kekuatan adalah kebenaran”. Untuk pertama kalinya, AS dengan kekuatan angkatan laut terbesar di dunia akan melaksanakan operasi kebebasan navigasi di wilayah 12 mil laut ”pulau palsu” buatan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.
Preposisi penggelaran kekuatan angkatan laut AS seperti ini baru pertama kali karena biasanya negara adidaya ini bertindak tanpa pemberitahuan atas apa yang dianggap sebagai hak internasionalnya. Tindakan ini bisa dibaca untuk mengukur tindakan RRT. Dan, jika Tiongkok bereaksi, AS berpeluang membawa hal ini ke ranah hukum internasional.
Perdebatan tentang perilaku AS ataupun posisi RRT di Laut Tiongkok Selatan (LTS) memang membingungkan dan menunjukkan bahwa gagasan RRT tentang jenis hubungan baru di antara negara besar tidak memiliki kesamaan strategis. Namun, Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu dalam Forum Ke-6 Xiangshan di Beijing, pekan lalu, tidak berhasil mencerminkan posisi Indonesia selain menyampaikan perlunya lingkungan kerja sama dan pertukaran keamanan.
Kita mencatat beberapa faktor. Pertama, Menhan RI ataupun posisi Indonesia tidak bisa memberikan artikulasi secara strategis kepentingan nasional di LTS. Betul, Indonesia bukan salah satu negara yang memiliki klaim di LTS. Namun, kepentingan strategis RI dalam konteks ASEAN sangat besar, terutama terkait dengan masalah keamanan nontradisional.
Kedua, Menhan RI tidak mampu memetakan kepentingan-kepentingan strategis negara-negara besar AS-RRT, termasuk India dan Jepang. Padahal, interaksi kekuatan besar di luar ASEAN memiliki kepentingan atas kawasan strategis komunikasi laut yang bernilai sekitar 5 triliun dollar AS setahunnya itu. Gangguan yang paling kecil sekalipun akan berdampak pada kawasan LTS secara menyeluruh yang mengancam perdamaian dan stabilitas kawasan.
Forum Xiangshan diselenggarakan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) melalui China Institute for International Strategic Studies (CIISS) dan China Association for Military Science (CAMS). Ini menjadi semacam forum Shangri-La Dialogue yang diselenggarakan setiap tahun di Singapura oleh International Institute for Strategic Studies (IISS).
Kita berpendapat, saatnya Indonesia bersama ASEAN mulai menggagas LTS sebagai wilayah nonmiliter yang damai, bebas, dan netral mengikuti gagasan dasar Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) yang selama ini menjadi doktrin penting organisasi regional Asia Tenggara. Ada dua alasan. Pertama, RRT selalu menekankan untuk tidak melakukan militerisasi di wilayah klaim tumpang tindih kedaulatan dan AS selalu menekankan masalah kebebasan bernavigasi.
Kedua, dengan menyatakan LTS sebagai wilayah nonmiliter, kita bisa mengukur niatan dan tujuan RRT dalam membuat ”pulau palsu” di wilayah yang berpotensi untuk terjadinya konflik tersebut. Dengan demikian, semua pembicaraan terkait dengan tata perilaku (code of conduct) di LTS bisa dilaksanakan secara tenang tanpa harus menghadirkan ”perang pendapat” demi menjaga stabilitas dan perdamaian.
Tidak sulit menjadikan LTS wilayah nonmiliter mengikuti asas ZOPFAN yang khas ASEAN. Sebab, organisasi regional ASEAN satu-satunya di dunia yang tidak memiliki perjanjian pakta pertahanan, tidak memiliki latihan militer gabungan kecuali bilateral atau trilateral, dan memiliki pengalaman mencapai tahapan perundingan meredakan ketegangan bersenjata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar