PBNU mendorong santri semakin berkualitas.
JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendeklarasikan Hari Santri Nasional di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (22/i0). Ribuan santri, siswa madrasah, ulama, dan pimpinan pondok pesantren menyaksikan deklarasi yang berlangsung pada pukul 14.00 WIB tersebut.
"Dengan mengucap bismillahirrahmaanirrahim, saya nyatakan secara resmi tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional," kata Presiden, yang didampingi Menag Lukman Hakim Saifuddin, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin.
Presiden yang mengenakan kemeja batik menyatakan, santri memiliki and ii besar dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka, dengan caranya masing-masing, telah menyusun strategi untuk mengusir mundur penjajah dari Tanah Air.
Santri, sambung Presiden, juga telah mengajarkan kesadaran mengenai arti pentingnya kemerdekaan. Ia lantas menyebutkan sejumlah pahlawan yang berasal dari kalangan santri, antara lain Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, A Hassan, Mas Abdul Rahman, dan Ahmad Surkati.
Mengingat peran santri yang begitu besar itu, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tabun 2015 tentang Penetapan Hari Santri Nasional. Presiden optimistic, ini tak akan menimbulkan sekat sosial atau memicu polarisasi antara santri dan nonsantri.
Sebaliknya, Presiden Jokowi percaya, langkah pemerintah menetapkan Hari Santri Nasional akan semakin memperkuat semangat kebangsaan, yang maknanya semangat untuk mempersatukan masyarakat di tengah keberagaman.
Menag Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan, Hari Santri Nasional merujuk pada keluarnya resolusi jihad para ulama pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini berisi seruan ulama yang mewajibkan seluruh umat Islam membela Tanah Air.
Sebelum deklarasi di Istiqlal, sekitar pukul 10.00 WIB, rombongan kirab Hari Santri Nasional yang herjumlah 50 orang tiba di Tugu Proklamasi, Jakarta. Ketua Umum PBNI I KH Said Aqil Siroj bersama ribuan santri dan pelajar dari Jabodetahek menyambut kedatangan rombongan.
Kiai Said dalam sambutannya menegaskan, Hari Santri Nasional tak akan menimbulkan dikotomi santri dan nonsantri. Menurut dia, santri bukan orang yang berada di pesantren saja, melainkan seluruh umat Islam yang beriman kepada Allah dan memiliki akhlak mulia.
"Santri pun berarti umat Islam yang memiliki semangat membela Islam dan Tanah Air," kata Kiai Said. Ia juga mengucapka n terima kasih kepada Presiden sebab 22 Oktober bertepatan dengan resolusi jihad yang dicetuskan pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari.
Kiai Said berharap, hari santri mendorong santri meningkatkan kualitasnya agar mampu bersaing pada masa sekarang. Kemarin, santri dan pelajar di sejumlah daerah merayakan penetapan Hari Santri Nasional secara serentak.
Sekitar 3.500 santri Ponpes Al Mahrusiyah, Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, mengikuti upacara di halaman pondok. Santri putri mengenakan baju dan rok panjang, sedangkan santri putra mengenakan baju koko dan sarung. Setelah upacara usai, santri melakukan konvoi.
Mereka membawa berbagai inacam poster serta ajakan untuk mcnjadi santri sesuai dengan gerakan nasional "Ayo Mondok". Para santri juga menabuh rebana dan bershalawat. Sementara, ratusan santri dan pelajar di Kecamatan Mayang, Jember, Jatim, menggelar kirab.
Semarak perayaan Hari Santri Nasional juga dilakukan di Kabupaten Kudus..iawa Teneah, dengan melakukan pawai 1.000 mobil. Sebelum pawai, ribuan santri dan pelajar terlebih dulu mengikuti upacara penetapan Hari Santri Nasional.
Mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, peringatan Hari Santri Nasional saat ini belum memiliki visi hagus untuk perjalanan bangsa ke depan dan baru sebatas mengenang peristiwa keluarnya resolusi jihad.
"Hari nasional itu, momentum untuk lompatan ke depan, seperti hari kemerdekaan. Kalau (hari santri) ini, agak romantis ke belakang, ke depannya enggak tahu," kata Din seusai berbicara dalam sebuah seminar di Universitas Islam Bandung.
Selain itu, Din menganggap Hari Santri Nasional membangkitkan kembali dikotomi santri dan abangan. Padahal, selama ini ada upaya mencairkan dikotomi tersebut dan telah berjalan dengan baik. Karena itu, lebih baik Hari Santri diganti Hari Pendidikan Islam, misalnya.
Ia pun menyayangkan tanggal 22 Oktober yang tak termasuk hari libur nasional. Akibatnya, peringatan hanya berlangsung di pesantren.
Namun, Din memandang tak perlu mengganti Hari Santri Nasional. Ini lebih pada apresiasi pemerintah terhadap pendidikan Islam. "Mohon maaf, ini tidak ada sentimen antarkelompok. Cuma kalau saya, sayang sekali kalau enggak bersuara. Karena, bisa saja ada masalah," katanya.Arie Lukihardianti, Halimatus Sa’diyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar