MEDIA INDONESIA 15/10 page 1, -- DUNIA pada hakikatnya beragam, tidak seragam. Keberagaman ialah sunatullah, hukum alam, yang tak bisa dan tak usah ditawar-tawar.
Semua agama, rasul, dan kitab suci mengajarkan keberagaman. Sejarah mengintroduksi keberagaman itu. Banyak negara mengadopsi keberagaman ke dalam ideologi mereka.
Indonesia bisa dikatakan bentuk mini dunia dalam hal keberagaman. Berbagai-bagai agama, etnik, dan kultur selama berpuluh bahkan mungkin beratus tahun hidup berdampingan di sekujur Nusantara. Dunia memuji kita sebagai negara yang piawai merawat keberagaman.
Semua itu, arftara lain, berkat ideologi Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keduanya merekatkan kita yang bineka dan berbeda.
Akan tetapi, belakangan kebinekaan kita, terutama dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan, kerap terkoyak. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM sepanjang Juli-September menerima 17 pengaduan terkait hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pengaduan itu meliputi pelanggaran hak mendirikan rumah ibadah, pelanggaran hak kebebasan beribadah atau menjalankan aktivitas keagamaan, pelanggaran hak bebas dari tindakan diskriminatif, pelanggaran atas hak berserikat, serta pelanggaran atas hak menyatakan pendapat.
Di luar pengaduan kepada Komnas HAM itu, pelanggaran atas keberagaman tentu jauh lebih banyak dan lebih parch lagi. Contohnya pembakaran gereja di Aceh Singkil, Provinsi Aceh, 13 Oktober lalu.
Kita tentu tak boleh menyepelekan, apalagi membiarkan begitu saja pelanggaran atas keberagaman itu. Bila disepelekan, ia tak Cuma mengoyak, tetapi juga akan merobek-robek kita sebagai bangsa. Jika dibiarkan, ia tak cuma merobek, tetapi juga akan memorak-porandakan persatuan Indonesia yang dengan susah payah kita rajut dengan peluh, darah, dan air mata.
Negara harus Nadir untuk menegakkan keberagamah yang tengah sempoyongan dan nyaris roboh itu. Negara tak boleh absen menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.
Kita ingin negara menegakkan hukum terhadap para pelanggar keberagaman. Jangan sampai negara mendiamkannya. Pelanggaran atau kesalahan yang didiamkan akan dianggap sebagai kebenaran. Bila didiamkan dan dianggap sebagai kebenaran, ia akan terjadi berulang di waktu dan tempat berbeda.
Kehadiran negara menegakkan hukum atas pelanggaran keberagaman bertujuan menghadirkan efek jera, bukan ketakutan. Kita tidak menginginkan penghormatan atas kebinekaan dibangun di atas fondasi ketakutan. Kita menghendaki penghargaan atas keberagaman berdiri di atas bangunan kesadaran penuh.
Pendidikan dan pencerahan menjadi penting untuk membangun kesadaran penuh bahwa keberagaman ialah kehendak Tuhan. Itu memang terutama menjadi tugas negara, tetapi peran pemangku kepentingan dan pemuka masyarakat sangat diharapkan.
Indonesia sedang berada pada fase transisi yang amat menentukan masa depan kita. Bila gagal melewati masa transisi ini, kita akan mundur menjadi negara yang senantiasa dilanda konflik agama atau etnik yang tak berujung. Namun, bila berhasil menapaki era transisi itu, kita akan menjadi negara demokrasi sesungguhnya.
Tentu kita menginginkan Indonesia memasuki fase negara demokrasi yang sebenar-benarnya. Penghormatan atas keberagaman menjadi salah satu pintu masuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar