KORAN TEMPO 2/11 Page -- Peraturan hukum Islam di Aceh
digugat karena dianggap tak sesuai dengan hak asasi manusia.
Sejumlah anggota Wilayatul Hisbah atau polisi syariat
turun ke beberapa perkampungan di Kota Banda Aceh, pekan lalu. Mereka menemui
beberapa tokoh masyarakat setempat untuk mensosialisasi penerapan syariat dalam
aturan yang baru. "Intinya, polisi syariat ingin masyarakat melaporkan
apabila melihat pelanggaran hukum Islam. Supaya tidak asal main hakim
sendiri," ujar kata Ratna Sari, aktivis dari Solidaritas Perempuan, Kamis
lalu.
Ratna mengatakan sejumlah anggota
masyarakat resah karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang substansi
dari isi qanun yang baru. Kemudian masyarakat juga melihat isi qanun itu sangat
diskriminatif. "Meski Qanun Jinayat (Undang-Undang Pidana) itu sudah disahkan
sejak setahun lalu, tetap saja belum ada sosialisasi kepada masyarakat. Lalu
masyarakat diminta kerja sarna,"kata Ranta lagi.
Pada 23 Oktober lalu, pemerintah
daerah Aceh mulai menerapkan aturan dalam Qanun Nomor 6 tentang Hukum Jinayat.
Qanun ini sebenarnya sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
pada 27 September 2014. Satu bulan setelahnya, Qanun itu ditandatangani
Gubernur Aceh. Dalam beleid itu, disebutkan bahwa aturan dalam Qanun berlaku
efektif setahun kemudian.
Peraturan baru ini jauh lebih
keras dan rinci. Dalam aturan sebelumnya, hukuman paling tinggi hanya 40 kali
cambukan. Umumnya, dalam pelaksanaan selama ini, terhukum hanya mendapat
maksimal 12 kali cambukan. Kini hukuman paling berat adalah 150 kali cambuk
atau denda 1.500 gram emas atau penjara 150 bulan.
Jenis pidana yang dapat dikenai
hukum cambuk juga meningkat. Dulu hanya ada tiga: khamar (minum minuman keras), maisir
(judi), dan khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram). Kini ditambah dengan ikhtilath (bermesraan antara dua orang
berlainan jenis yang bukan suami-istri), zina, pelecehan seksual, dan
pemerkosaan. Selanjutnya ada qadzaf (menuduh orang melakukan zina tanpa dapat
mengajukan paling kurang empat saksi), liwath
(homoseksualitas), dan musahaqah (lesbian).
Belum genap sebulan diterapkan,
sejumlah kalangan menggugat qanun itu ke Mahkamah Agung. Aktivis hukum dan
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Widodo
Eddyono, selaku penggugat, mengatakan qanun itu bertentangan dengan hukum dan
hak asasi manusia. "Qanun Jinayat telah melanggar prinsip hak asasi
manusia. Dan juga menimbulkan diskriminasi bagi kaum perempuan."
Supriyadi mengakui bahwa Qanun
itu lahir setelah perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka di Helsinki pada 2005. "Tapi substansi Qanun Jinayat itu melanggar
perjanjian perdamaian atau MoU Helsinki," kata Supriyadi, pekan lalu.
Salah satunya adalah poin 1.4.2
pada perjanjian itu. Dalam poin itu disebutkan bahwa legislatif Aceh akan merumuskan
kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip universal dan hak asasi
manusia. Bunyi poin itu juga menyebutkan bahwa perumusan segala ketentuan hukum
Aceh harus disesuaikan dengan isi Kovenan Intemasional Pergerikatan Bangsa
Bangsa mengenai hak sipil dan politik serta mengenai hak ekonomi, sosial, dan
budaya.
Supriyadi juga mengatakan Qanun
itu setidaknya melanggar sepuluh undang-undang dan hukum Indonesia. Dia
berharap Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Qanun itu."Demi kemaslahatan
masyarakat di Aceh," ujar dia.
Kepala Bidang Hukum Dinas Syariat
Islam Provinsi Aceh Munawar Jalil mempersilakan masyarakat menggugat Qanun itu.
"Ya, silakan saja, tapi yang jelas qanun ini tidak bersinggungan dengan
hukum positif lainnya yang berlaku di Aceh dan tidak melanggar HAM," kata
dia."
Wakil Ketua Mahkamah Syariat Aceh
M. Jamil Ibrahim mengatakan, justru lahirnya Qanun Jinayat itu berdasarkan
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang
mengamanatkan syariat Islam meliputi seluruh aspek, termasuk hukum pidana.
"Jika tidak kita terapkan, malah kita yang melanggar hukum," kata
dia.
Mahkamah Agung memberi sinyal
kuat bahwa gugatan Qanun kecil kemungkinan untuk diterima. Musababnya, para
pemohon gugatan uji materi itu adalah lembaga yang tidak mewakili masyarakat
Aceh. "Lebih baik jika pemohon gugatan Qanun itu adalah masyarakat Aceh
yang memang terkena dampaknya langsung. Jika tidak, ya agak sulit, tapi
tergantung keputusan hakim nanti," kata juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi.
Bagi Ratna, gugatan yang
dilakukan Supriyadi sudah merupakan aspirasi dari keresahan masyarakat Banda
Aceh, khususnya kaum minoritas. Apalagi gugatan itu merupakan atas nama lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hukum. "Karena kalau langsung
yang menggugat masyarakat Aceh, ataupun individu, sangat berbahaya bagi kami.
Pastinya kami akan semakin diintervensi dan dianggap kafir lantaran dianggap
menggugat syariat Islam."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar