5 Nov 2015

Nirwono Joga, "Ahok dan Masalah Sampah"

Oleh Nirwono Joga, Koordinator Kemitraan Kota Hijau

Pemerintah Provinsi DKI Jakartah dipusingkan lagi soal tempat pengelolaan sampah terpadu di Bantargebang, Kota Bekasi. Masalah ini diperkeruh oleh perseteruan tiga pihak, yakni Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, DPRD Kota Bekasi, dan operator. Operator dinilai tidak memenuhi kewajiban, yakni membangun sarana pengelolaan sampah yang sekaligus bisa memproduksi listrik, jaringan penerangan, dan  pagar pengaman.

Sebenarnya, cara penanganan sampah di Jakarta sudah ketinggal an zaman. Metode mengumpulkan sampah dan dibuang merupakan metode yang boros waktu, biaya, dan tidak menyelesaikan masalah sampah. Lebih dari 6.000-7.000 ton sampah per hari dibuang ke lahan seluas 108 hektare. Mau sampai kapan?

Sudah banyak contoh kota-kota di dunia yang sukses mengelola sampah. Amsterdam mereduksi sampah hingga 43 persen, sehingga 80 persen lahan bekas tempat pembuangan akhir tidak diperlukan lagi dan menjadi kawasan terpadu. San Francisco meluncurkan program pay-as-you-throw dan non-recyclable garbage, program diet tas plastik yang menurunkan sampah 15-20 persen, sekitar 5 juta kantong plastik per bulan.

Di Indonesia, rata-rata setiap orang menghasilkan 0,8 kilogram sampah per hari dengan jumlah timbunan sampah mencapai 200 ribu ton per hari atau 73 juta ton per tahun. Sampah yang diangkut dan ditimbun sebanyak 68 persen, dikubur 9 person, diolah menjadi kompos dan didaur ulang 6 persen, dibakar 5 persen, tak terkelola 7 persen, dan lain-lain 5 persen.

Jenis sampah meliputi sampah organik (60 persen), plastik (14 persen), kertas (9 persen), serta logam, karet, kain, dan kaca (17 persen). Sumber sampah berasal dari rumah tangga (48 persen), pasar (24 persen), komersial (9 persen), dan fasilitas publik (19 person).

Pemerintah daerah harus menyusun rencana induk pengelolaan sampah yang berisikan penetapan target pengurangan sampah, strategi peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan kebersihan, serta penyediaan sarana dan prasarana. Perlu pula peran serta masyarakat, kerja sama daerah (kemitraan), penggunaan teknologi hijau, dan pengembangan infrastruktur pengolahan sampah multisimpul (desentralisasi).

Ada lima aspek pengelolaan sampah. Pertama, aspek hukum. UndangUndang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Daerah DKI No. 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan bahwa pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama lima tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini.

Penanganan sampah ke satu tempat pembuangan akhir dengan konsep controlled landfill sudah harus diubah. Metode penimbunan sampah terbuka terbukti menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, resistansi warga lokal, rawan longgor, dan mengancam keselamatan warga sekitar.

Kedua, kelembagaan. Integrasi dan koordinasi antarpemangku kepentingan, termasuk pemerintah, swasta, dan sektor informal (pemulung). Di tingkat lokal, perlu ada pemisahan institusi regulator dan operator, sehingga tercipta manajemen yang profesional, transparan, dan akuntabel. Perkuat pula kelembagaan masyarakat, dari tingkat RT, RW hingga kota.

Ketiga, peran serta masyarakat. Lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta, dan sektor informal perlu dilibatkan sejak perencanaan. Kewajiban pengurangan, pengelolaan, dan pengolahan sampah harus menjadi tanggung jawab bersama. Partisipasi masyarakat akan mengurangi produksi sampah dan menghemat biaya angkut hingga 50 person.

Keempat, teknis operasional. Pemerintah perlu melakukan pengkajian teknologi pengolahan sampah secara terusmenerus, komprehensif, dan terintegrasi. Strategi pengelolaan sampah terpadu dilakukan dengan 3R (reduce, reuse, dan recycle), extended producer responsibility (EPR), pemanfaatan sampah, dan pemrosesan akhir sampah. Bila strategi ini diterapkan, timbulan sampah ditargetkan bisa berkurang hingga 50 person.

Kelima, pendanaan. Kebersihan adalah investasi, yang akan mendorong pertumbuhan dan produktivitas ekonomi kreatif. Prioritas diwujudkan pada alokasi APBN dan APBD serta.prinsip polluters pay principle: produsen bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan. Pengomposan bisa dikembangkan di perumahan, pasar, pusat belanja, dan lainnya. Kompos itu dibeli dinas pertamanan atau dinas lain untuk pemeliharaan ruang terbuka hijau.

Kuncinya, selesaikan masalah sampah mulai dari sumbernya, maka kekisruhan pengelolaan sampah antara pemerintah DKI Jakarta dan Kota Bekasi tidak perlu terjadi lagi. Ahok pun tak perlu lagi marah-marah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar