13 Nov 2015

Perubahan Iklim: Indonesia Didorong Tunjukkan Kepemimpinan

KOMPAS, 13/11 Page 14, -- Indonesia, negara yang berpotensi menghindarkan dunia dari dampak perubahan iklim, dinilai sangat penting untuk bisa memimpin perundingan pada Pertemuan Para Pihak Ke-21 Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Perancis, Desember 2015. Jika sukses mengambil peran itu, Indonesia akan dapat banyak manfaat dari perundingan itu.

"Indonesia negara besar dengan 17.000 pulau. Punya hutan tropis nomor tiga terbesar, gambut luar biasa luas. Semua itu berpotensi menjadi berkah untuk menyelesaikan masalah, tapi juga rentan sebagai sumber bencana," kata Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan dalam brifing media di Jakarta, Kamis (12/11). Narasumber lain Deputi I Sekjen AMAN Mina Susana Setra.

Kekuatan lain adalah masyarakat adat sekitar 17 juta jiwa di 2.302 kampung. "Dengan jumlah sebesar itu, gerakan masyarakat Indonesia menjadi pembawa pesan masyarakat adat seluruh dunia," kata Abdon.

Di Paris, AMAN bersama masyarakat adat dunia membentuk International Indigenous Peoples Forum on Climate Change (IIPFCC). Di sana, IIPFCC akan intervensi. Mereka akan mendesak agar teks-teks konferensi menyebut masyarakat adat dengan konteks kuat, karena peran mereka penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

"Sangat penting bagi Indonesia untuk memimpin karena kalau gagal korbannya amat banyak, sementara kalau sukses dapat manfaat besar," katanya. Posisi dan kondisi Indonesia itu perlu ditunjukkan kepada dunia.

Indonesia juga perlu memperjuangkan keadilan iklim dan masalah utang emisi yang mendasari prinsip common but differentiated responsibility (CBDR-sama, tetapi berbeda dalam tanggung jawab) antara negara maju dan berkembang.

Kerangka hukum

Abdon juga mengingatkan, selama ini yang merawat rawa gambut adalah masyarakat adat. Selama ini, masyarakat adat selalu menjaga gambut tetap basah. Jika kering, gambut menjadi bencana. Selain menimbulkan asap, gambut yang terbakar memaparkan emisi karbon dioksida.

Namun, kata Abdon, peran masyarakat adat dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) tidak tampak dalam dokumen niatan nasional untuk kontribusi penurunan emisi (INDC). Jika masyarakat adat dilibatkan, kontribusi mengurangi emisi GRK bisa sekitar 50 persen. Soal penempatan masyarakat adat dalam INDC, AMAN siap menggugat.

Saat ini, pemetaan partisipatif wilayah adat milik masyarakat adat yang mencakup luasan 84 juta hektar belum masuk dalam sistem One Map (Satu Peta). Wilayah itu lebih luas daripada perhutanan sosial yang dialokasikan pemerintah seluas 12,7 juta hektar. Menurut Mina, memberi kerangka hukum pada masyarakat adat merupakan investasi termurah agar bisa mendapat kontribusi besar dari masyarakat adat untuk mitigasi perubahan iklim.

Dalam INDC disebutkan adat community. "Ini bukan bahasa perundingan. Mengapa tidak menggunakan indigenous people, lalu dijelaskan indigenous people di Indonesia adalah masyarakat adat. Banyak negara seperti itu," kata Mina. Karena sebutan itu, Indonesia bisa tidak mendapatkan apa-apa. (ISW)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 November 2015, di halaman 14 dengan judul "Indonesia Didorong Tunjukkan Kepemimpinan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar