JAKARTA — Penyelesaian konflik di antara negara anggota ASEAN diharapkan dapat dibantu melalui ASEAN Institute for Peace and Reconsiliation (AIPR). Dengan mekanisme AIPR, maka campur tangan dunia internasional terhadap penyelesaian isu kawasan dapat dihindari.
Kawasan Asia Tenggara (ASEAN) rentan terhadap berbagai konflik. Direktur Politik dan Keamanan ASEAN di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Muhammad Chandra W Yudha mengatakan, ada banyak konflik di Asia Tenggara, seperti kejahatan lintas batas, penduduk gelap, fishing, narkoba, terorisme, transboundary challenges, dan penanganan bencana yang termasuk isu keamanan nontradisional. Kasus perbatasan yang merupakan isu tradisional pun masih menjadi ancaman bagi kawasan ASEAN.
"Kalau tidak ditangani sebaik-baiknya akan menjadi potensi konflik di kawasan," ujarnya dalam diskusi Pengembangan Perdamaian dan Rekonsiliasi ASEAN, Kamis (29/10).
Namun, ia menegaskan, konfik atau kasus-kasus di ASEAN tersebut harus diselesaikan dengan bangsa-bangsa ASEAN sendiri tanpa hams adanya keterlibatan internasional di dalamnya. "Itu lebih dapat diterima bagi negara-negara ASEAN," ujarnya.
Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan upaya bersama di Asia Tenggara, terutama nanti dengan beroperasinya AIPR. Chandra menilai penting untuk bisa membuat ASEAN memiliki mekanisme dalam menghadapi situasi konflik komunal di ASEAN. Jika ada perbedaan pandangan maka akan diselesaikan dengan diskusi melalui AIPR, yang dibentuk lewast kesepatan 2011.
Dirjen Kerja Sama ASEANdi Kemenlu, I Gusti Agung Wesaka Puja, mengatakan, upaya Indonesia untuk menciptakan stabilitas dan keamanan di kawasan bukan sesuatu yang tiba-tiba. Upaya ini kan sudah dilakukan sejak ASEAN dibentuk. Saat itu, para pemimpin Indonesia berinisiasi untuk menyelesaikan pesoalan-persoalan yang menyangkut konflik-konflik di kawasan karena Perang Dingin sejak ASEAN berdiri pada 8 Agustus 1967.
"Jadi bukan sesuatu yang baru, sudah 48 tahun Indonesia berusaha keras untuk menciptakan perdamaian, stabilitas, dan keamanan di kawasan dan sekarang kita lihat hasilnya," kata dia.
Laut Cina Selatan
ASEAN pun mulai melakukan tindakan nyata untuk menangani konflik yang ada, seperti sengketa saling klaim di Laut Cina Selatan (LCS) yang melibatkan Cina dan Taiwan serta beberapa negara ASEAN. Padahal, konflik di LCS bukan hanya satusatunya penentu aspek stabilitas di kawasan.
Dalam kasus tersebut, ASEAN sudah berusaha sejak dibentuknya Declaration of Conduct (DOC) pada 2002. Sejauh ini, proses tersebut terus bergulir dan menghasilkan kemajuan signifikan bagi ASEAN dan Cina untuk membentuk sebuah code of conduct (COC).
Penulis : MELISA RISKA PUTRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar