KORAN TEMPO 28/10 Page 11, -- Setelah setengah abad berlalu, peristiwa 1965 masih dianggap hantu oleh sebagian aparat di. Indonesia. Ini terlihat dari reaksi keras mereka terhadap segala hal yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia dan tragedi 1965.
Pada Oktober ini saja, sudah tiga peristiwa terjadi. Di Sumatera Barat, aparat menahan dan mengekstradisi Tom Iljas, eksil yang kini bermukim di Swedia, saat pulang karnpung untuk berziarah ke makam ayahnya. Di Salatiga, polisi membredel majalah Lentera milik lembaga pers mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, yang menurunkan laporan "Salatiga Kota Merah"Terakhir, polisi, jaksa, dan pemerintah daerah Ubud melarang sejumlah acara yang terkait dengan peristiwa 1965 dalam Festival Penulis dan Peminat Sastra Ubud (UWRF) 2015.
Sikap pemerintah menunjukkan kepicikan dalam memandang isu 1965. Gerakan 30 September dan pembantaian orang-orang yang dituduh PKI pada 1965-1966 merupakan fakta, tak bisa dihapus dengan pelarangan dan penangkapan.
Hukum Indonesia memang melarang penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme—aturan usang yang seharusnya dihapus. Namun, sebuah penelitian, tulisan, film, pameran, atau bentuk lain yang mengangkat tema peristiwa 1965 bukan berarti menyebarkan komunisme. Di zaman digital, ajaran ini sudah kedaluwarsa. Para peneliti dan pengarang menggali peristiwa itu karena masih banyak yang perlu diungkap, termasuk dampak kemanusiaan yang ditanggung para pelaku pembantaian dan keluarga korban.
Aparat pemerintah, baik polisi, jaksa, maupun aparatur lainnya, terlalu sempit menafsirkan masalah ini dengan menganggap apa saja yang mengandung kata"komunis" dan "PKI" berarti melanggar hukum. Bila demikian, apakah semua buku sejarah sekolah dasar dan menengah yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan harus pula diberangus?
Kajian tentang peristiwa 1965 telah menjadi subyek penting di berbagai lembaga penelitian. Sejumlah peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; University of Connecticut dan Cornell University, Amerika Serikat; Australian National University, Australia; serta Waseda University, Jepanguntuk menyebut sebagian di antaranya—sccara serius mendalami isu seputar periode 1965. Mereka melahirkan kajian-kajian penting yang memperkaya pemahaman kita mengenai masa tersebut.
Melarang menulis dan mendiskusikan peristiwa 1965 sukar diterima akal sehat, selain melanggar kebebasan berpendapat, hal yang dilindungi Konstitusi. Memandang PKI sebagai ancaman adalah memelihara hantu di kepala. Para pemelihara hantu ini menjadikan misteri 1965 tak pernah tuntas terungkap, apalagi terselesaikari dampaknya.
Presiden Joko Widodo harus menghentikan pemberangusan texhadap kegiatan seputar 1965. Tanpa sikap tegas Presiden, sikap konyol aparat akan terus terulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar