Sourch : Majalah Tempo
ISSN: 0126-4273 | 10-16 Agustus 2015
Ringkasan
ISSN: 0126-4273 | 10-16 Agustus 2015
Ringkasan
HAEDARNASHIR PIMPIN MUHAMMADIYAH
MUKTAMAR Muhammadiyah ke-47 yang digelar di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis pekan lalu, menetapkan Haedar Nashir sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020. Dia menggantikan ketua umum sebelumnya, Din Syamsuddin.
Haedar ditunjuk menjadi ketua umum oleh 13 formatur baru PP Muhammadiyah. Proses pe-milihannya hanya berlangsung sepuluh menit lewat sidang tertutup di luar pleno muktamar. Haedar memenangi persaingan dengan sejumlah tokoh, antara lain Yunahar Ilyas, Dahlan Rais, Abdul Mu'ti, dan Syafiq A. Mughni.
Menurut Din, Haedar layak memimpin Muhammadiyah karena dinilai sebagai kader sejati. "Kami berikan wewenang kepada beliau untuk bertanggung jawab di bidang keorganisasian," kata Din. Haedar mengatakan tak akan mudah menjalani tugas barunya. Sebab, ia merasa keberhasilan Din akan selalu membayanginya. "Beliau mengantarkan Muhammadiyah dengan banyak capaian yang cemerlang," ujarnya.
Lahir di Bandung, 25 Februari 1958, Haedar menjadi Ketua Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 1983.
Pada 1985-1990, dia dipercaya menjabat Deputi Kader Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah. Selanjutnya Haedar menjadi Ketua Badan Pendidikan Ka- der dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah pada 1985-2000. Pada 20002005, ia menjabat Sekretaris PP Muhammadiyah.
Istri Haedar, Siti Noordjannah, juga terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP Aisyiyah periode 2015-2020. Keduanya bakal mengulang sejarah satu abad silam pada masa awal pendirian organisasi keagamaan ini. Duet suami-istri memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah ini mengulangi duet KH Ahmad Dahlan dan Hajah Siti Walidah.
PRAPERADILAN DAHLAN ISKAN DIKABULKAN
PENGADILAN Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Dahlan Iskan. Hakim praperadilan Lendriaty Janis menganggap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tak punya cukup bukti dalam menetapkan Dahlan sebagai tersangka korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara senilai Rp 1.06 triliun.
"Penetapan tersangka cenderung bersikap subyektif karena tidak didahului pengumpulan barang bukti dan saksi yang cukup." kata Lendriaty saat membacakan amar putusan, Selasa pekan lalu.
Lendriaty juga menolak seluruh pembelaan Kejaksaan dalam sidang, la menganggap Kejaksaan tak bisa member' pembelaan berupa bukti dan saksi yang menguatkan. Selain itu. penetapan Dahlan sebagai tersangka dianggap bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebab, surat perintah penyidikan dinilai tak sah.
Kepala Seksi Penerangan Hukum, Kejaksaan Waluyo mengatakan penyidik akan memperbaiki yang dianggap salah oleh hakim. "Kejaksaan tidak akan mundur,- ujarnya. "Kami sudah mengantongi dua alat bukti untuk kembali menjerat Dahlan."
Dia menegaskan. Kejaksaan segera menentukan upaya hukum berikutnya, antara mengajukan permohonan peninjauan kemball dan menerbitkan surat perintah penyidikan yang baru. Kuasa hukum Dahlan. Yusril lhza Mahendra, mempersilakan Kejaksaan mengajukan permohonan peninjauan kembali.
GUBERNUR GATOT SERET PETINGGI NASDEM
SEJUMLAH petinggi Partai NasDem ikut terseret dalam kasus penyuapan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang melibatkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Nama Ketua Umum NasDem Surya Paloh dan Ketua NasDem Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, yang juga Wakil Gubernur Sumatera Utara, disebut oleh sejumlah saksi di depan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengacara Gatot, Razman Arief Nasution, mengatakan kliennya bertemu dengan Surya dan Erry pada awal Mei lalu atau dua bulan sebelum kasus penyuapan terungkap. Pertemuan membahas perdamaian lantaran ketidakharmonisan Gatot dan Erry. Pertemuan dihadiri pengacara Otto Cornelis Kaligis, yang juga Ketua Mahkamah Partai NasDem. Dalam pertemuan, Gatot mempertanyakan pengusutan kasus bantuan sosial oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terhadap dirinya.
Menurut Razman, Kaligis mengusulkan kepada Gatot untuk menggugat Kejaksaan Tinggi ke PTUN Medan. "Padahal Gatot dan istrinya tak setuju, tapi Kaligis bilang percaya saja," kata Razman, Rabu pekan lalu. Setelah itu, Kaligis langsung menyebutkan biaya yang harus disiapkan Gatot dan istrinya, Evi Susanti.
Erry membenarkan bahwa dia, Surya, Kaligis, dan Gatot-Evi pernah duduk semeja. "Itu silaturahmi," ujar Erry. Namun, menurut dia, pertemuan tak membahas kasus dana bantuan sosial. Adapun pengacara Kaligis, Alamsyah Hanafiah, dan Sekretaris Jenderal NasDem Patrice Rio Capella mengatakan tak mengetahui pertemuan tersebut.
KOMISI KEJAKSAAN DIMINTA BONGKAR MAFIA KASUS
PRESIDEN Joko Widodo meminta Komisi Kejaksaan menjalankan fungsi mengawasi Korps Adhyaksa—julukan kejaksaan.
"Sebagai amanat Presiden, togas kami adalah akan memberantas mafia kasus di Kejaksaan Agung," kata Indro Sugianto, Komisioner Komisi Kejaksaan periode 2015- 2020, Kamis pekan lalu.
Presiden melantik sembilan komisioner Komisi Kejaksaan yang akan menjabat selama lima tahun ke depan. Enam komisioner merupakan unsur masyarakat, yaitu Indro, Erna Ratnaningsih, Ferdinand T. Andilolo, Pultoni, Barita L. Simanjuntak, dan Yuni Artha Manalu. Mereka dipilih dari 12 calon hasil penyaringan panitia seleksi, yang bekerja sejak Januari lalu. Adapun tiga komisioner lain berasal dari pemerintah, yakni Sumarno, Yuswa Kusuma, dan Tudjo Pramono. Sumarno dan Erna selanjutnya menjadi Ketua dan Wakil Ketua Komisi Kejaksaan.
Namun Koalisi Pemantau Peradilan Indonesia ragu harapan Jokowi agar Komisi Kejaksaan bisa memberantas mafia kasus Bakal terwujud. Ketua Divisi Riset Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Dio Ashar Wicaksana mempertanyakan alasan terpilihnya Yuni Artha Manalu, yang pernah mencalbnkan diri dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dari Partai NasDem. Dia mengingatkan, Jaksa Agung Prasetyo sebelumnya merupakan politikus dari partai yang sama. "Ini menjadi pertanyaan besar, ada kepentingan apa?" ujarnya.
Ketua Panitia Seleksi Komisi Kejaksaan Tumpak Hatorangan Panggabean tidak risau oleh keputusan Presiden Joko Widodo memilih Yuni Artha Manalu. Menurut Tumpak, Yuni sudah bukan politikus Partai NasDem sehingga panitia menyorongkan namanya. "Ada juga surat dari partai yang menyatakan is sudah dilepaskan dari keanggotaan," ucap Tumpak.
OPINI
BUMBUNG KOSONG UNTUK KANDIDAT TUNGGAL
PEMILIHAN kepala daerah Surabaya merupakan contoh kecil ten- tang kisah pembajakan demokrasi. Sedianya berlangsung 9 December 2015, sesuai dengan undang-undang, pilkada itu bakal tertunda hingga 2017-jika sampai Selasa pekan ini hanya diikuti satu pasang kandidat. Seandainya ini terjadi, selama dua tahun warga Surabaya akan dipimpin pelaksana tugas wall kota-pejahat sementara yang tak diizinkan mengambil keputusan strategis.
Tersebutlah inkumben tanpa lawan bernama Tri Rismaharini. Sukses memimpin Surabaya, wali kota yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu diperkirakan oleh sejumlah survei bakal menang telak. Meniti karier sebagpi pegawai negeri sipil, sesungguhnya ia bukan orang partai. PDI Perjuangan hersama partai lain di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya selama ini tak bersahabat dengan Rismajikapun Risma disokong, itu karena partai tak punya pilihan: Risma telanjur memikat hati warga Surabaya.
Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional menyorongkan caIon untuk menyaingi Risma. Petinggi Partai Amanat Nasional menegaskan bahwa keputusan memajukan kandidat bukan untuk memusuhi sang Wali Kota, melainkan menolongnya agar ia tidak berlaga sendirian. Malang tak bisa ditolak: pada detik-detik terakhir menjelang pendaftaran ditutup, kandidat wakil wali kota penantang ini, dalam pengertian sebenarnya, raib tanpa jejak.
Hilang mendadaknya sang calon memantik curiga bahwa ada "operasi gelap" untuk menggagalkan pemilihan Wali Kota Surabaya. Orang mengaitkan aksi ini dengan Gubernur sekaligus Ketua Partai DemokratJawa Timur, Soekarwo. Apalagi Haries Purwoko, kandidat wakil wali kota yang raib itu, dikenal dekat dengan Soekarwo. Meski didukung partai, pasangan Dhimam Abror-Ilaries Purwoko bukanlah kader partai. Muncul kecurigaan bahwa keduanya merupakan kandidat boneka yang kapan pun bisa dicopot dan dipasang oleh sang dalang.
Lakon ituberakhir dengan raibnya Haries. Risma gagal berlagasetidaknya hingga Senin pekan lalu. Soekarwo dianggap bertanggung jawab terhadap gagalnya pencalonan Risma karena ia ingin memiliki pengaruh di Surabaya-kota yang selama ini hampir tak bisa ia "sentuh". Risma memang dikenal keras melawan pemilik modal dan para beking: ia menolak rencana pembangunan jalan tol dalam kota dan perumahan di tepi laut-sekadar menyehut contoh karena dianggapnya tak bisa menyejahterakan rakyat kecil. Santer terdengar Risma hanyak menolak proyek lain yang sudah mendapat lampu hijau dart sang Guber. our. Langkah Soekarwo mempersulit Risma sebetulnya secara politik sah-sah saja. Sebagai ketua partai, dia berhak menyorongkan atau meminta rnundur kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Tapi menunda pilkada seraya menempatkan pelaksana tugas yang "bisa dipercaya" adalah langkah tak etis. Soekarwo bisa dengan mudah ditudingmenyabot demokrasi.
Apalagi pemilihan kepala daerah serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota sudah ditetapkan menjadi agenda nasional. Partai politik semestinya menyiapkan kader terbaiknya untuk bertarung dalam pilkada. Menang-kalah itu coal biasa. Menggagalkan pilkada karena takut kalah merupakan pengkhianatan yang nyata kepada orang ramai.
Pemerintah tidak boleh tutup mata. Membiarkan boikot pilkada terjadi sama artinya dengan merampas hak warga mendapatkan pemimpin. Memperpanjang masa pendaftaran heherapa hart menunjukkan ketidakberanian pemerintah mengambil risiko. Solusi itu juga diragukan efektivitasnya: dengan persyaratan yang bejibun, mempersiapkan kandidat dalam hitungan hart adalah mimpi di slang bolong.
Presiden mesti menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Satu yang terpenting dalam perpu itu adalah diizinkannya kandidat tanpa lawan untuk berlaga seorang diri. Berkaca pada praktek pemilihan kepala desa, kandidat seperti itu biasanya dim inta melawan humbung kosong. Jika si kandidat yang menang, ia terbukti dikehendaki pemilih. Jika tidak, pemilihan harus diulang.
Terobosan hukum ini harus diambil Presiden. Ia bolehjadi akan mendapat tentangan dart legislatif, terutama mereka yang sepakat dengan rencana menjegal kandidat seperti Risma. Tapi risiko hams diambil. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat semestinya sadar bahwa betapapun legal secara politik, aksi bergajul menunda pilkada harus dihambat melalui penyempurnaan undang-undang.
Melawan humbung kosong merupakan cara yang lebih demokratis ketimbang berlama-lama menunda pilkada. Tak ada jaminan, dalam dua tahun, kandidat baru akan muncul. Pelaksanaan pilkada serentak, atas nama demokrasi dan efisiensi anggaran sudah menjadi keputusan bernama. Rencana baik itu tidak boleh tersandera hanya karena kepentingan segelintir politikus partai.
RAIS AM TANPA GUS MUS
Muktamar terburuk sepanjang sejarah Nandlatul Ulama. Tugas berat duet Kiai Ma'ruf Amin-Said Aqil Siroj.
MUKTAMAR Muhammadiyah ke-47 yang digelar di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis pekan lalu, menetapkan Haedar Nashir sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020. Dia menggantikan ketua umum sebelumnya, Din Syamsuddin.
Haedar ditunjuk menjadi ketua umum oleh 13 formatur baru PP Muhammadiyah. Proses pe-milihannya hanya berlangsung sepuluh menit lewat sidang tertutup di luar pleno muktamar. Haedar memenangi persaingan dengan sejumlah tokoh, antara lain Yunahar Ilyas, Dahlan Rais, Abdul Mu'ti, dan Syafiq A. Mughni.
Menurut Din, Haedar layak memimpin Muhammadiyah karena dinilai sebagai kader sejati. "Kami berikan wewenang kepada beliau untuk bertanggung jawab di bidang keorganisasian," kata Din. Haedar mengatakan tak akan mudah menjalani tugas barunya. Sebab, ia merasa keberhasilan Din akan selalu membayanginya. "Beliau mengantarkan Muhammadiyah dengan banyak capaian yang cemerlang," ujarnya.
Lahir di Bandung, 25 Februari 1958, Haedar menjadi Ketua Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 1983.
Pada 1985-1990, dia dipercaya menjabat Deputi Kader Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah. Selanjutnya Haedar menjadi Ketua Badan Pendidikan Ka- der dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah pada 1985-2000. Pada 20002005, ia menjabat Sekretaris PP Muhammadiyah.
Istri Haedar, Siti Noordjannah, juga terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP Aisyiyah periode 2015-2020. Keduanya bakal mengulang sejarah satu abad silam pada masa awal pendirian organisasi keagamaan ini. Duet suami-istri memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah ini mengulangi duet KH Ahmad Dahlan dan Hajah Siti Walidah.
PRAPERADILAN DAHLAN ISKAN DIKABULKAN
PENGADILAN Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Dahlan Iskan. Hakim praperadilan Lendriaty Janis menganggap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tak punya cukup bukti dalam menetapkan Dahlan sebagai tersangka korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara senilai Rp 1.06 triliun.
"Penetapan tersangka cenderung bersikap subyektif karena tidak didahului pengumpulan barang bukti dan saksi yang cukup." kata Lendriaty saat membacakan amar putusan, Selasa pekan lalu.
Lendriaty juga menolak seluruh pembelaan Kejaksaan dalam sidang, la menganggap Kejaksaan tak bisa member' pembelaan berupa bukti dan saksi yang menguatkan. Selain itu. penetapan Dahlan sebagai tersangka dianggap bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebab, surat perintah penyidikan dinilai tak sah.
Kepala Seksi Penerangan Hukum, Kejaksaan Waluyo mengatakan penyidik akan memperbaiki yang dianggap salah oleh hakim. "Kejaksaan tidak akan mundur,- ujarnya. "Kami sudah mengantongi dua alat bukti untuk kembali menjerat Dahlan."
Dia menegaskan. Kejaksaan segera menentukan upaya hukum berikutnya, antara mengajukan permohonan peninjauan kemball dan menerbitkan surat perintah penyidikan yang baru. Kuasa hukum Dahlan. Yusril lhza Mahendra, mempersilakan Kejaksaan mengajukan permohonan peninjauan kembali.
GUBERNUR GATOT SERET PETINGGI NASDEM
SEJUMLAH petinggi Partai NasDem ikut terseret dalam kasus penyuapan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang melibatkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Nama Ketua Umum NasDem Surya Paloh dan Ketua NasDem Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, yang juga Wakil Gubernur Sumatera Utara, disebut oleh sejumlah saksi di depan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengacara Gatot, Razman Arief Nasution, mengatakan kliennya bertemu dengan Surya dan Erry pada awal Mei lalu atau dua bulan sebelum kasus penyuapan terungkap. Pertemuan membahas perdamaian lantaran ketidakharmonisan Gatot dan Erry. Pertemuan dihadiri pengacara Otto Cornelis Kaligis, yang juga Ketua Mahkamah Partai NasDem. Dalam pertemuan, Gatot mempertanyakan pengusutan kasus bantuan sosial oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terhadap dirinya.
Menurut Razman, Kaligis mengusulkan kepada Gatot untuk menggugat Kejaksaan Tinggi ke PTUN Medan. "Padahal Gatot dan istrinya tak setuju, tapi Kaligis bilang percaya saja," kata Razman, Rabu pekan lalu. Setelah itu, Kaligis langsung menyebutkan biaya yang harus disiapkan Gatot dan istrinya, Evi Susanti.
Erry membenarkan bahwa dia, Surya, Kaligis, dan Gatot-Evi pernah duduk semeja. "Itu silaturahmi," ujar Erry. Namun, menurut dia, pertemuan tak membahas kasus dana bantuan sosial. Adapun pengacara Kaligis, Alamsyah Hanafiah, dan Sekretaris Jenderal NasDem Patrice Rio Capella mengatakan tak mengetahui pertemuan tersebut.
KOMISI KEJAKSAAN DIMINTA BONGKAR MAFIA KASUS
PRESIDEN Joko Widodo meminta Komisi Kejaksaan menjalankan fungsi mengawasi Korps Adhyaksa—julukan kejaksaan.
"Sebagai amanat Presiden, togas kami adalah akan memberantas mafia kasus di Kejaksaan Agung," kata Indro Sugianto, Komisioner Komisi Kejaksaan periode 2015- 2020, Kamis pekan lalu.
Presiden melantik sembilan komisioner Komisi Kejaksaan yang akan menjabat selama lima tahun ke depan. Enam komisioner merupakan unsur masyarakat, yaitu Indro, Erna Ratnaningsih, Ferdinand T. Andilolo, Pultoni, Barita L. Simanjuntak, dan Yuni Artha Manalu. Mereka dipilih dari 12 calon hasil penyaringan panitia seleksi, yang bekerja sejak Januari lalu. Adapun tiga komisioner lain berasal dari pemerintah, yakni Sumarno, Yuswa Kusuma, dan Tudjo Pramono. Sumarno dan Erna selanjutnya menjadi Ketua dan Wakil Ketua Komisi Kejaksaan.
Namun Koalisi Pemantau Peradilan Indonesia ragu harapan Jokowi agar Komisi Kejaksaan bisa memberantas mafia kasus Bakal terwujud. Ketua Divisi Riset Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Dio Ashar Wicaksana mempertanyakan alasan terpilihnya Yuni Artha Manalu, yang pernah mencalbnkan diri dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dari Partai NasDem. Dia mengingatkan, Jaksa Agung Prasetyo sebelumnya merupakan politikus dari partai yang sama. "Ini menjadi pertanyaan besar, ada kepentingan apa?" ujarnya.
Ketua Panitia Seleksi Komisi Kejaksaan Tumpak Hatorangan Panggabean tidak risau oleh keputusan Presiden Joko Widodo memilih Yuni Artha Manalu. Menurut Tumpak, Yuni sudah bukan politikus Partai NasDem sehingga panitia menyorongkan namanya. "Ada juga surat dari partai yang menyatakan is sudah dilepaskan dari keanggotaan," ucap Tumpak.
OPINI
BUMBUNG KOSONG UNTUK KANDIDAT TUNGGAL
PEMILIHAN kepala daerah Surabaya merupakan contoh kecil ten- tang kisah pembajakan demokrasi. Sedianya berlangsung 9 December 2015, sesuai dengan undang-undang, pilkada itu bakal tertunda hingga 2017-jika sampai Selasa pekan ini hanya diikuti satu pasang kandidat. Seandainya ini terjadi, selama dua tahun warga Surabaya akan dipimpin pelaksana tugas wall kota-pejahat sementara yang tak diizinkan mengambil keputusan strategis.
Tersebutlah inkumben tanpa lawan bernama Tri Rismaharini. Sukses memimpin Surabaya, wali kota yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu diperkirakan oleh sejumlah survei bakal menang telak. Meniti karier sebagpi pegawai negeri sipil, sesungguhnya ia bukan orang partai. PDI Perjuangan hersama partai lain di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya selama ini tak bersahabat dengan Rismajikapun Risma disokong, itu karena partai tak punya pilihan: Risma telanjur memikat hati warga Surabaya.
Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional menyorongkan caIon untuk menyaingi Risma. Petinggi Partai Amanat Nasional menegaskan bahwa keputusan memajukan kandidat bukan untuk memusuhi sang Wali Kota, melainkan menolongnya agar ia tidak berlaga sendirian. Malang tak bisa ditolak: pada detik-detik terakhir menjelang pendaftaran ditutup, kandidat wakil wali kota penantang ini, dalam pengertian sebenarnya, raib tanpa jejak.
Hilang mendadaknya sang calon memantik curiga bahwa ada "operasi gelap" untuk menggagalkan pemilihan Wali Kota Surabaya. Orang mengaitkan aksi ini dengan Gubernur sekaligus Ketua Partai DemokratJawa Timur, Soekarwo. Apalagi Haries Purwoko, kandidat wakil wali kota yang raib itu, dikenal dekat dengan Soekarwo. Meski didukung partai, pasangan Dhimam Abror-Ilaries Purwoko bukanlah kader partai. Muncul kecurigaan bahwa keduanya merupakan kandidat boneka yang kapan pun bisa dicopot dan dipasang oleh sang dalang.
Lakon ituberakhir dengan raibnya Haries. Risma gagal berlagasetidaknya hingga Senin pekan lalu. Soekarwo dianggap bertanggung jawab terhadap gagalnya pencalonan Risma karena ia ingin memiliki pengaruh di Surabaya-kota yang selama ini hampir tak bisa ia "sentuh". Risma memang dikenal keras melawan pemilik modal dan para beking: ia menolak rencana pembangunan jalan tol dalam kota dan perumahan di tepi laut-sekadar menyehut contoh karena dianggapnya tak bisa menyejahterakan rakyat kecil. Santer terdengar Risma hanyak menolak proyek lain yang sudah mendapat lampu hijau dart sang Guber. our. Langkah Soekarwo mempersulit Risma sebetulnya secara politik sah-sah saja. Sebagai ketua partai, dia berhak menyorongkan atau meminta rnundur kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Tapi menunda pilkada seraya menempatkan pelaksana tugas yang "bisa dipercaya" adalah langkah tak etis. Soekarwo bisa dengan mudah ditudingmenyabot demokrasi.
Apalagi pemilihan kepala daerah serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota sudah ditetapkan menjadi agenda nasional. Partai politik semestinya menyiapkan kader terbaiknya untuk bertarung dalam pilkada. Menang-kalah itu coal biasa. Menggagalkan pilkada karena takut kalah merupakan pengkhianatan yang nyata kepada orang ramai.
Pemerintah tidak boleh tutup mata. Membiarkan boikot pilkada terjadi sama artinya dengan merampas hak warga mendapatkan pemimpin. Memperpanjang masa pendaftaran heherapa hart menunjukkan ketidakberanian pemerintah mengambil risiko. Solusi itu juga diragukan efektivitasnya: dengan persyaratan yang bejibun, mempersiapkan kandidat dalam hitungan hart adalah mimpi di slang bolong.
Presiden mesti menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Satu yang terpenting dalam perpu itu adalah diizinkannya kandidat tanpa lawan untuk berlaga seorang diri. Berkaca pada praktek pemilihan kepala desa, kandidat seperti itu biasanya dim inta melawan humbung kosong. Jika si kandidat yang menang, ia terbukti dikehendaki pemilih. Jika tidak, pemilihan harus diulang.
Terobosan hukum ini harus diambil Presiden. Ia bolehjadi akan mendapat tentangan dart legislatif, terutama mereka yang sepakat dengan rencana menjegal kandidat seperti Risma. Tapi risiko hams diambil. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat semestinya sadar bahwa betapapun legal secara politik, aksi bergajul menunda pilkada harus dihambat melalui penyempurnaan undang-undang.
Melawan humbung kosong merupakan cara yang lebih demokratis ketimbang berlama-lama menunda pilkada. Tak ada jaminan, dalam dua tahun, kandidat baru akan muncul. Pelaksanaan pilkada serentak, atas nama demokrasi dan efisiensi anggaran sudah menjadi keputusan bernama. Rencana baik itu tidak boleh tersandera hanya karena kepentingan segelintir politikus partai.
RAIS AM TANPA GUS MUS
Muktamar terburuk sepanjang sejarah Nandlatul Ulama. Tugas berat duet Kiai Ma'ruf Amin-Said Aqil Siroj.
WAJAH kusut Nandlatul Ulama diisyaratkan Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri ketika menolak dipilih sebagai Rais Am. Padahal dia didaulat melalui fora sémbilan elite kiai, yang dikenal dengan ahhil halli wal aqdi, wakil muktamirin dari seantero cabang dan wilayah yang tumplek di Jombang, Jawa Timur. Gus Mus menyatakan tak sanggup memikul beban berat sebagai pemuncak kiai.
Memimpin organisasi kemasyarakatan Islam berpengikut terbesar di Tanah Air memanglah berat. Muktamar yang gaduh hujan protes dan nyaris adu jotos ketika membahas aturan pemilihan itu seolah-olah persekot rontoknya adab kaum sarungan iniwabilkhusus dalam bermuktamar. Sederet kiai sepuh yang duduk di barisan terdepantaklagi dihormati laiknya dalam organisasi keagamaan, yang takzim kepada kiai.
Pantas jika Gus Mus malu bercampur prihatin hingga tak tidur semalaman saat mengetahui kegaduhan muktamar. Ia tak segan mengungkapkan kerendahan hatinya: rela mencium kaki muktamirin agar menjaga akhlak yang luhur. Situasinya semakin gawat ketika ratusan peserta yang aspirasinya tak digubris mengancam menggelar muktamar tandingan.
Di Joinbang, tempat NU didirikan oleh trio Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Wahab Chasbullah, dan Bisri Syansuri, seperti me, maklumkan di sini pulajam'iyah ini seolah-olah siap diruntuhkan. Tangan-tangan kotor merekayasa pemenangan. Ada dugaan muktamar sengaja "dikondisikan" demi kepentingan politik lokal. Bau amis tebaran fulus menyengat nian. Pantas jika mantan Katib Am, Sekretaris Umum Malik Madani, lantang berteriak: inilah muktamar terburuk sepanjangsejarah NU.
Tadinya banyak yang menduga pengasuh pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, yang gemar ngetwit itu memilih bersikap tawadu, rendah hati—fragmen yang lazim muncul di muktamar pertanda tak kemarukjabatan. Tapi bujukan banyak kiai sepuh tak mampu rnenggoyahkan pendirian ulama yang gemar berpuisi ini. Padahal Gus Mus pantas menyandang amanat itu. Selain dipercaya sebagai Rais Am sementara sepeninggal Kiai Sahal Mahfudz, integritas Gus Mus tak diragukan. Ia teruji sebagai kiai yang betah memangku pesantrennya. Selain penguasaan ilmu alatnya sangat mumpuni (dia pernah studi syariah di Universitas Al-Azhar bareng sahabatnya, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid), dia tak pernah berpolitik.
Rekam jejak Gus Mus sedikit berbeda dengan Kiai Haji Ma'ruf Amin, yang akhirnya ditunjuk menjadi Rais Am. Ahli fikih dari Tanara, Banten, ini punya irisan politik dan dekat dengan kekuasaan—sesuatu yang lazimnya dihindari kandidat Rais Am. Ia deklarator Partai Kebangkitan Bangsa, pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden semasa Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat, Ma'rufgetol dengan stempel "syariahisasi", selain menjadi ketua dewan syariah di sejumlah perbankan syariah.
Drama yang melelahkan itu akhirnya berakhir di tangan duet Ma'ruf Amin-Said Aqil Siroj. Sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU yang kembali terpilih, Said Aqil berjanji membenahi organisasi dan pendidikan tanpa meninggalkan ulama, serta revitaligasi aset NU yang terserak di mana-mana.
Revitalisasi akhlak tak boleh dilupakan. Kedua tokoh tersebut harus mampu menjaga tradisi organisasi yang menjadi kiblat moral bagi masyarakat dan penguasa ini. Organisasi yang bermakna kebangkitan ulama ini menyatakan perang tak cuma terhadap terorisme, tapi juga korupsi—fatwa NU: jenazah koruptor haram disalati.
Merawat tujuan luhur ini sungguh berat. MuktamarJombang tak boleh dijadikan acuan runtuhnya keulamaan.
PASAL ZOMBIE MENGANCAM DEMOKRASI
Pasal penghinaan presiden dan wakilnya hendak dihidupkan lagi. Kemunduran dalam berdemokrasi.
ANGKAH pemerintah mengajukan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam rancangan baru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sungguh langkah mundur. Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal ini pada 2006 dengan alasan bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan berpendapat. Jika sekarang pemerintah mengajukan lagi "pasal mayit" itu dalam bungkus KUHP baru, langkah ini tak ubahnya menghidupkan zombie untuk menakutnakuti siapa saja yang dianggap menghina presiden.
Pasal baru penghinaan presiden itu termuat dalam draf rancangan KUHP yang diserahkan ke pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat pada 8 Juni lalu. Urusan penghinaan presiden tercantum dalam dua dari total 786 pasal KUHP baru. Meski namanya rancangan KUHP baru, esensi pasal ini sama buruknya dengan pasal di KUHP lama yang sudah dinyatakan tak berlaku. Lihatlah, misalnya, penjelasan tentang apa yang dimaksud penghinaan terhadap presiden dan wakilnya. Draf Pasal 264 mendefinisikan penghinaan sebagai "mempertunjukkan, menempelkan tulisan, memperdengarkan rekaman, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden".
Sungguh definisi yang sangat lentur. Bila pasal ini disahkan, hakim bisa menghukum siapa pun berdasarkan tafsiran yang bisa meliuk ke sana-kemari. Padahal ancaman hukumannya cukup berat, maksimal 5 tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta.
Tak kalah lenturnya adalah draf penjelasan Pasal 263, juga tentang penghinaan presiden. Di situ disebutkan: "menghina adalah perbuatan apa pun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di depan umum". Maka, bayangkan, cukup dengan penjelasan pasal ini, komedian yang berani memparodikan presiden, misalnya, bisa saja ditangkap dan diadili.
Betapa suramnya iklim politik kita bila kelak orang begitu mudah dihantui tuduhan menghina presiden. Pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa merupakan warisan pemerintah Belanda, ketika mereka tak ingin ada yang herani membangkitkan semangat melawan penjajah. Pasal seperti ini pula yang sekarang masih berlaku di beberapa negara tetangga dengan sistem politik yang masih menekan rakyatnya.
Di sini korban kemarahan pemerintah karena merasa dihina pun sudah berjatuhan. Majalah D&R pada 1998 "diperingatkan dengan keras" karena sampulnya mengilustrasikan wajah Presiden Soeharto bak raja di kartu remi. Bahkan, setelah era Soeharto, korban tetap ada. Dua mahasiswa Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktivis asal Bali pernah divonis penjara pada periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka diadili dan dinyatakan terbukti menghina setelah membakar foto Presiden dalam sebuah demonstrasi.
Kita tak ingin masa suram berdemokrasi seperti itu kembali hidup. Ini bukan zamannya orang harus takut mengkritik pemerintah atau presiden. Dalih bahwa pasal itu perlu untuk membedakan mengkritik dengan menghina presiden sebagai simbol negara juga terlalu dicari-cari. Simbol negara tak akan runtuh hanya karena ada yang membakar foto presiden atau mencela kebijakannya.
Presiden Joko Widodo semestinya memerintahkan pencabutan pasal tersebut dari rancangan undang-undang KUHP baru. Tak perlu berargumen bahwa rancangan pasal itu sudah ada sejak masa pemerintahan sebelumnya. DPR juga harus menolak. Pemerintah dan DPR selayaknya membuat undang-undang dengan semangat membangun iklim politik yang lebih demokratis, bukan malah memutar mundur jarum sejarah.
PLTN BISA MENUNGGU
Rencana Badan Tenaga Nuklir Nasional membangun pembangkit listrik berskala mini ditentang. Proyek nuklir perlu kajian menyeluruh.
KETIMBANG himbang, sebaiknya pemerintah menunda saja rencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Sebelum proyek sangat strategis itu diputuskan, koordinasi antarlembaga pemerintah mesti berjalan baik. Rakyat perlu mendapat kepastian bahwa proyek itubenar-benar aman.
Keputusan tegas pemerintah diperlukan semua pihak yang berkaitan dengan urusan nuklir ini. Misalnya Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang herancang-ancang menyiapkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir berskala kecil di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan. Akihat perubahan angin di jajaran pucuk pemerintahan, rencana itu terkatung-katung. Ketika berkunjung ke Batan, pertengahan April lalu, Presiden Joko Widodo tampak antusias terhadap rencana Batan. Tapi akhir Juni lalu, ketika berkunjung ke Bangka Belitung, Presiden mengaku belum memikirkan opsi pembangunan PLTN.
Kesimpangsiuran, celakanya, menjalar sampai ke kementerian. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengaku belum menyetujui isi buku putih bertajuk "PLTN 5.000 MW di Indonesia" yang dikeluarkan kementeriannya. Buku yang disiapkan akhir tahun lalu itu merinci alasan dan tahapan menuju pembangunan pembangkit energi nuklir di Indonesia. Padahal bawahan Menteri Sudirman, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Rida Mulyana, memastikan Sudirman sudah memberi lampu hijau.
Silang pendapat ini sesungguhnya menunjukkan tidak satu padunya sikap pemerintah tentang pemanfaatan energi nuklir. De- wan Energi Nasional tegas menolak rencana Batan. Sedangkan Batan beralasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional 2005-2025, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2015-2024 yang diterbitkan Kementerian Energi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mencantumkan perlunya pembangunan PLTN.
Pro dan kontra begini bukan hal baru. Sejak Batan pertama kali merilis rencana pendirian PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah, pada 2007, semua argumentasi tentang kelebihan dan kekurangan energi nuklir sudah dibahas. Rencana reaktor nuklir mini di Serpong itu pun sebenarnya bagian dari uji coba agar kesiapan teknologi dan infrastruktur pendukung bisa diperiksa lebih saksama.
Di sisi lain, kecelakaan reaktor nuklir seperti yang terjadi empat tahun lalu di Fukushima, Jepang, seperti menyurutkan semua rencana. Pendapat yang herkembang setelah "Tragedi Fukushima", seandainya sumber energi alternatif lain masih tersedia, opsi nuklir bisa menunggu.
Satu hal yang membuat opsi nuklir seperti mendapat pembenaran: meningkatnya kebutuhan listrik nasional. Saat ini kebutuhan bertambah 5.900 megawatt per tahun. Sedangkan pembangkit yang ada hanya memenuhi 4.200 megawatt. Indonesia perlu tambahan 6,2 gigawatt per tahun agar tak tekor. Sementara itu, dengan ancaman pemanasan global, semua negara semestinya wajib mengurangi ketergantungan pada energi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batu bara.
Sebelum mengambil kata akhir, Presiden Jokowi sebaiknya memperhatikan pedoman International Atomic Energy Agency. Lembaga pengawas itu menegaskan pentingnya konsensus nasional berdasarkan partisipasi publik yang utuh sebagai prasyarat utama pengembangan energi nuklir di suatu negara.
LAPORAN UTAMA
Dua Telepon, Dua Kota, Satu Waktu
PENDUKUNG RISMA MENUDUH SOEKARWO DAN LA NYALLA BERADA DI BALIK GAGALNYA PENCALONAN PESAING INKUMBEN DI SURABAYA DAN PACITAN. ELITE PDIP DAN DEMOKRAT SEBETULNYA SEPAKAT BEKERJA SAMA.
SEPEREMPAT jam setelah menerima telepon pada Senin pagi pekan lalu, sikap Ketua Partai Golkar Pacitan Effendi Budi Wirawan berubah. Dalam rapat Koalisi Pacitan Bersama untuk menentukan kandidat kepala daerah di jawa Timur itu, is meminta menjadi calon bupati, berganti posisi dengan kader PDI Perjuangan, Suyatno.
Suasana rapat menjadi riuh. Sebab, usul disampaikan satu jam sebelum jadwal pendaftaran mereka ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat. "Saya mendapat informasi bahwa di Surabaya calon Demokrat yang dimunculkan. Di Pacitan, PDIP yang dipaksa dimunculkan," kata Effendi memberi alasan. la menyatakan memperoleh informasi itu dari kolega separtainya.
Perubahan sikap Effendi membuat nasib calon inkumben di kedua kota itu tak menentu. Popularitas Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Pacitan Indartato yang tinggi menyebabkan partai di luar "perahu" mereka enggan mengajukan calon. Akibatnya, karena hanya ada satu pendaftar, pemilihan di daerah itu terancam mundur hingga 2017.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang mengusung Risma di Surabaya, dan Partai Demokrat, yang mengajukan Indartato di Pacitan, awalnya seolah-olah sepakat "bekerja sama". Demi menghindari calon tunggal, mereka setuju mengajukan kandidat di kedua kota. Namun perubahan di Pacitan memporakporandakan rencana itu.
Perdebatan pecah setelah muncul permintaan Effendi. Rapat di kantor PDIP Pacitan itu dihadiri perwakilan Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Athanat Nasional, Partai Hati Nurani Rakyat, dan tuan rumah. Effendi berdalih, partainya memiliki kursi di Dewan lebih banyak, yaitu tujuh, dibandingkan dengan PDIP, yang punya enam kursi. Dia juga mengklaim memiliki modal jauh lebih besar daripada Suyatno.
Sehagian besar peserta rapat tak ingin ada perubahan komposisi. Mereka berangkat ke kantor KPUD pukul 15.30. Effendi mengatakan Suyatno sempat berbisik kepadanya, "Aku yo ora usah budal (saya juga tak usah berangkat)." Namun, kata dia, seorang pengurus PDIP mengajak Suyatno berangkat. Suyatno membantah berniat meninggalkan gelanggang. "Teman dari partai lain yang melarang saya berangkat," ujarnya.
Suyatno menuju gedung KPUD semobil dengan para politikus PDIP, yaitu Ketua Pengurus Jawa Timur Kusnadi; anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Giyanto; serta seorang pengurus pusat. Giyanto memiliki hubungan cukup dekat dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan ditugasi "mengawal" misi politik partai itu di Pacitan.
Total 12 mobil dan belasan sepeda motor mengiringi rombongan koalisi. Tapi, di tengah perjalanan, rombongan Golkar dan Gerindra herhelok ke kantor partai beringin. Politikus Gerindra meninggalkan koalisi dengan alasan isu barter politik PDIP dan Demokrat di kedua kota begitu santer. Ketua Gerindra Pacitan Rianto mengatakan Suyatno dan Effendi juga terlihat jeri berlaga menantang inkumben, Indartato-Yudi Sumbogo, yang disokong Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera. "Daripada ragu-ragu, lebih baik mundur," katanya.
Hingga batas akhir pendaftaran pukul 16.00, Effendi tak muncul. KPU memberi tambahan waktu 25 menit sampai selesai rapat koordinasi internal komisi penyelenggara pemilihan itu. Effendi sama sekali tak menjawab panggilan telepon. "Diangkat tapi tak ada suaranya," ucap Nur Sigit Efendi, Ketua Ilanura Pacitan. KPU pun menolak pendaftaran mereka. Walhasil, hanya ada satu kandidat pendaftar di Pacitan.
• • •
PERISTIWA di Pacitan beresonansi ke Surabaya. Pemilihan di kota ini seolaholah bakal diikuti dua pasangan ketika Demokrat dan Partai Amanat Nasional berkoalisi. Mereka mengajukan Dhimam Abror Djuraid, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Timur, dan Haries Purwoko, Ketua Pemuda Pancasila Surabaya.
Pada hari terakhir pendaftaran, Senin pekan lalu, tanda-tanda pasangan itu berantakan terasa sejak pagi. Sampai slang, Haries tak bisa dihubungi. Malam sebelumnya hingga Senin dinihari, Abror dan Haries bertemu dengan pengurus kedua partai di Hotel Shangri-La Surabaya. Abror, yang hendak mengajak Haries mengambil surat rekomendasidari Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Gubernur Soekarwo pada pukul 13.00, tak kunjung bisa menelepon calon pasangannya itu.
Haries juga tak bisa ditemui di rumahnya. Abror memberitahukan situasi itu kepada Soekarwo, yang kemudian menghubungi La Nyalla Mattalitti guna mengetahui keheradaan Haries. Semua tahu, Haries merupakan orang dekat Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia itu. Benar saja, atas perintah La Nyalla, Haries sepakat datang ke Masjid At-Thohiriyah, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, pukul 14.30. Abror dan Haries lalu berjalan kaki menuju kantor KPUD.
Setiba di kantor penyelenggara pemilihan, rombongan Abror dan Haries disambut Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana. Whisnu telah mendaftar untuk kerribali menjadi calon wakil wali kota pendamping Tri Rismaharini. Ketika mereka hendak bersalaman, seseorang berteriak dari kerumunan massa PDIP yang ikut hadir, "Iki golekane teka (ini bonekanya datang)."
Abror dan Hades tetap bersama-sama menuju kantor KPUD. Namun beberapa kali Haries menerima telepon sekitar pukul 16.00. Hampir setengah jam kemudian, Wakil Ketua DPRD dari Demokrat, Ratih Retnowati, menyodorkan telepon settler kepadanya. Haries meninggalkan ruang pendaftaran, keluar dari kantor KPUD, dan setelah itu tak muncul lagi.
Satu jam lebih Abror, yang memang telah menahbiskan diri sehagai calon Wall Kota Surabaya 2015-2020, tak radar telah ditinggalkan Haries. Ia hanya panik karena berkas pendaftaran belum lengkap diisi hingga pukul 17.00, Batas akhir pendaftaran. Ia menyatakan sedikit lega ketika KPUD memberi tambahan waktuhingga tengah malam. Setelah berbuka p-ttasa sunah dan salat magrib, is haru memperoleh kabar: Haries mundur dari pencalonan, dengan alasan "diminta ibunya". "Saya syok," ujar Abror, Selasa pekan lalu.
Seperti di Pacitan, rencana pencalonan di Surabaya berantakan. Kerja sama Demokrat dan PIMP di kedua kota tak lagi bisa jalan. Dua daerah itu merupakan bagian dari tujuh wilayah di Indonesia yang pemilihannya hanya diikuti satu pendaftar. Umumnya karena calon inkumben dianggap tidak mungkin dikalahkan. Rabu Pekan lalu, setelah berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo dan para pemimpin lembaga negara di Istana Bogor, Jawa Barat, Komisi Pemilihan Umum memutuskan memberi tambahan waktu pendaftaran selama tujuh hari.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan bukan penelepon terakhir sebelum Haries menghilang dari kantor KPUD. Sekretaris Demokrat Jawa Timur Bonie Laksmana juga membantah. "Tidak betul itu," ucap Bonie. Ratih menolak menjawab pertanyaan soal siapa yang menghubungi Haries melalui teleponnya pada hari itu.
Haries tak mau menyebutkan nama orang yang memintanya kabur. Dia hanya mengakui berkomunikasi dengan elite Demokrat untuk memberitahukan keberatan ibu dan keluarganya. "Tudingan jadi boneka itu tak enak. Konotasinya bisa diatur, pasti dibeli," kata Haries, yang hanya menjawab pertanyaan melalui surat elektronik.
Para pendukung Risma segera menghubungkan Soekarwo dan La Nyalla sebagai penyabot pencalonan Abror dan Haries. Mereka merujuk pada hubungan buruk kedua tokoh itu dengan Risma. Soekarwo sering berbenturan kepentingan dengan Surabaya, antara lain dalam rencana pembangunan jalan tol tengah kota. Adapun La Nyalla pernah menyatakan pemilihan di Surabaya harus ditunda agar Risma gagal menjadi calon wali kota lagi.
Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum PDIP Bambang Dwi Hartono-- yang juga pernah bérkonflik dengan Risma--pun menuduh kejadian di Surabaya dan Pacitan tak lepas dari peran Soekarwo. "Dia tahu semua," ujar mantan Wali Kota Surabaya ini.
Soekarwo membantah kecurigaan itu. La Nyalla, yang bersama Haries memasang banyak reklame untuk Soekarwo pada pemilihan Gubernur Jawa Timur 2013, menyatakan tak ikut campur tangan dalam urusan Surabaya. "Saya sibuk di PSSI," katanya.
•••
SOEKARWO, yang lama berkarier sebagai birokrat di Jawa Timur sebelum memimpin provinsi itu sejak 2008, memiliki jaringan politik lintas partai. Itu sebabnya para pendukung Risma yakin ia bisa memainkan politik di Surabaya—yang sangat strategis bagi Megawati dan PDIPdan Pacitan, yang dikuasai Demokrat dan memiliki nilai historis bagi Yudhoyono.
Elite kedua partai sebenarnya sepakat bekerja sama di kedua kota. Setelah menghadiri pembukaan Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, Sabtu dua pekan lalu, ketika hendak ter- bang kembali ke Jakarta dari Surabaya, menurut Risma, Megawati berpesan kepada Giyanto. "Kawal Pacitan. Jangan sampai berantakan," ujar Risma, menirukan pecan Megawati. Anggota DPRD Jawa Timur dari PDIP itu, menurut Risma, menjawab, "Siap!"
Risma mengatakan menyampaikan kepada Megawati soal kerja sama politik di kedua kota. "Saya bilang, Demokrat perlu bantuan di Pacitan," ujarnya. Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang menemani ibunya, menurut Risma, herkomentar, "Oh, jadi barter, ya? Ya, enggak apa-apa, bagus."
Imelda Sari, juru bicara Partai Demokrat, menyatakan, pada Kamis malam dua pekan lalu, Yudhoyono memerintahkan partainya membantu daerah-daerah yang hanya memiliki satu calon. Menurut dia, Yudhoyono secara khusus juga menyebut Risma. "Pak SBY mengatakan, tidak fair kalau kepala daerah yang baik gagal mencalonkan diri lagi karena tidak ada calon," ujarnya.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Panjaitan mengakui berkomunikasi membahas pencalonan di Surabaya dan Pacitan. Tapi Hasto menilai Demokrat di daerah kurang serius "menciptakan" lawan di Pacitan. Hinca tak menjawab ketika dimintai pendapat soal tuduhan itu.
Komunikasi PDIP dan Demokrat diJawa Timur agaknya mandek:Wakil Ketua Demokrat Pacitan Sugiharto mengatakan tak ada kesepakatan khusus soal Surabaya dan Pacitan dengan PDIP. Ia mengatakan tak menerima perintah apa pun dari pengurus Demokrat Jawa Timur pimpinan Soekarwo.
Setelah Komisi Pemilihan Umum memberi tambahan waktu hingga Selasa pekan ini, Soekarwo belum memastikan akan mengajukan lagi calon di Surabaya. Ia mengatakan, "Kami tidak bisa memaksa atau mencari ganti yang lain. Mencari petarung itu susah."
JOBRIE SUGIHARTO, WAYAN AGUS I JAKARTA. NOFIKA DIAN NUGROHO I PACITANI, AVIT HIDAYAT. ARTIKA RACHMI FARMITA (SURABAYA)
Memimpin organisasi kemasyarakatan Islam berpengikut terbesar di Tanah Air memanglah berat. Muktamar yang gaduh hujan protes dan nyaris adu jotos ketika membahas aturan pemilihan itu seolah-olah persekot rontoknya adab kaum sarungan iniwabilkhusus dalam bermuktamar. Sederet kiai sepuh yang duduk di barisan terdepantaklagi dihormati laiknya dalam organisasi keagamaan, yang takzim kepada kiai.
Pantas jika Gus Mus malu bercampur prihatin hingga tak tidur semalaman saat mengetahui kegaduhan muktamar. Ia tak segan mengungkapkan kerendahan hatinya: rela mencium kaki muktamirin agar menjaga akhlak yang luhur. Situasinya semakin gawat ketika ratusan peserta yang aspirasinya tak digubris mengancam menggelar muktamar tandingan.
Di Joinbang, tempat NU didirikan oleh trio Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Wahab Chasbullah, dan Bisri Syansuri, seperti me, maklumkan di sini pulajam'iyah ini seolah-olah siap diruntuhkan. Tangan-tangan kotor merekayasa pemenangan. Ada dugaan muktamar sengaja "dikondisikan" demi kepentingan politik lokal. Bau amis tebaran fulus menyengat nian. Pantas jika mantan Katib Am, Sekretaris Umum Malik Madani, lantang berteriak: inilah muktamar terburuk sepanjangsejarah NU.
Tadinya banyak yang menduga pengasuh pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, yang gemar ngetwit itu memilih bersikap tawadu, rendah hati—fragmen yang lazim muncul di muktamar pertanda tak kemarukjabatan. Tapi bujukan banyak kiai sepuh tak mampu rnenggoyahkan pendirian ulama yang gemar berpuisi ini. Padahal Gus Mus pantas menyandang amanat itu. Selain dipercaya sebagai Rais Am sementara sepeninggal Kiai Sahal Mahfudz, integritas Gus Mus tak diragukan. Ia teruji sebagai kiai yang betah memangku pesantrennya. Selain penguasaan ilmu alatnya sangat mumpuni (dia pernah studi syariah di Universitas Al-Azhar bareng sahabatnya, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid), dia tak pernah berpolitik.
Rekam jejak Gus Mus sedikit berbeda dengan Kiai Haji Ma'ruf Amin, yang akhirnya ditunjuk menjadi Rais Am. Ahli fikih dari Tanara, Banten, ini punya irisan politik dan dekat dengan kekuasaan—sesuatu yang lazimnya dihindari kandidat Rais Am. Ia deklarator Partai Kebangkitan Bangsa, pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden semasa Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat, Ma'rufgetol dengan stempel "syariahisasi", selain menjadi ketua dewan syariah di sejumlah perbankan syariah.
Drama yang melelahkan itu akhirnya berakhir di tangan duet Ma'ruf Amin-Said Aqil Siroj. Sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU yang kembali terpilih, Said Aqil berjanji membenahi organisasi dan pendidikan tanpa meninggalkan ulama, serta revitaligasi aset NU yang terserak di mana-mana.
Revitalisasi akhlak tak boleh dilupakan. Kedua tokoh tersebut harus mampu menjaga tradisi organisasi yang menjadi kiblat moral bagi masyarakat dan penguasa ini. Organisasi yang bermakna kebangkitan ulama ini menyatakan perang tak cuma terhadap terorisme, tapi juga korupsi—fatwa NU: jenazah koruptor haram disalati.
Merawat tujuan luhur ini sungguh berat. MuktamarJombang tak boleh dijadikan acuan runtuhnya keulamaan.
PASAL ZOMBIE MENGANCAM DEMOKRASI
Pasal penghinaan presiden dan wakilnya hendak dihidupkan lagi. Kemunduran dalam berdemokrasi.
ANGKAH pemerintah mengajukan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam rancangan baru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sungguh langkah mundur. Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal ini pada 2006 dengan alasan bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan berpendapat. Jika sekarang pemerintah mengajukan lagi "pasal mayit" itu dalam bungkus KUHP baru, langkah ini tak ubahnya menghidupkan zombie untuk menakutnakuti siapa saja yang dianggap menghina presiden.
Pasal baru penghinaan presiden itu termuat dalam draf rancangan KUHP yang diserahkan ke pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat pada 8 Juni lalu. Urusan penghinaan presiden tercantum dalam dua dari total 786 pasal KUHP baru. Meski namanya rancangan KUHP baru, esensi pasal ini sama buruknya dengan pasal di KUHP lama yang sudah dinyatakan tak berlaku. Lihatlah, misalnya, penjelasan tentang apa yang dimaksud penghinaan terhadap presiden dan wakilnya. Draf Pasal 264 mendefinisikan penghinaan sebagai "mempertunjukkan, menempelkan tulisan, memperdengarkan rekaman, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden".
Sungguh definisi yang sangat lentur. Bila pasal ini disahkan, hakim bisa menghukum siapa pun berdasarkan tafsiran yang bisa meliuk ke sana-kemari. Padahal ancaman hukumannya cukup berat, maksimal 5 tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta.
Tak kalah lenturnya adalah draf penjelasan Pasal 263, juga tentang penghinaan presiden. Di situ disebutkan: "menghina adalah perbuatan apa pun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di depan umum". Maka, bayangkan, cukup dengan penjelasan pasal ini, komedian yang berani memparodikan presiden, misalnya, bisa saja ditangkap dan diadili.
Betapa suramnya iklim politik kita bila kelak orang begitu mudah dihantui tuduhan menghina presiden. Pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa merupakan warisan pemerintah Belanda, ketika mereka tak ingin ada yang herani membangkitkan semangat melawan penjajah. Pasal seperti ini pula yang sekarang masih berlaku di beberapa negara tetangga dengan sistem politik yang masih menekan rakyatnya.
Di sini korban kemarahan pemerintah karena merasa dihina pun sudah berjatuhan. Majalah D&R pada 1998 "diperingatkan dengan keras" karena sampulnya mengilustrasikan wajah Presiden Soeharto bak raja di kartu remi. Bahkan, setelah era Soeharto, korban tetap ada. Dua mahasiswa Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktivis asal Bali pernah divonis penjara pada periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka diadili dan dinyatakan terbukti menghina setelah membakar foto Presiden dalam sebuah demonstrasi.
Kita tak ingin masa suram berdemokrasi seperti itu kembali hidup. Ini bukan zamannya orang harus takut mengkritik pemerintah atau presiden. Dalih bahwa pasal itu perlu untuk membedakan mengkritik dengan menghina presiden sebagai simbol negara juga terlalu dicari-cari. Simbol negara tak akan runtuh hanya karena ada yang membakar foto presiden atau mencela kebijakannya.
Presiden Joko Widodo semestinya memerintahkan pencabutan pasal tersebut dari rancangan undang-undang KUHP baru. Tak perlu berargumen bahwa rancangan pasal itu sudah ada sejak masa pemerintahan sebelumnya. DPR juga harus menolak. Pemerintah dan DPR selayaknya membuat undang-undang dengan semangat membangun iklim politik yang lebih demokratis, bukan malah memutar mundur jarum sejarah.
PLTN BISA MENUNGGU
Rencana Badan Tenaga Nuklir Nasional membangun pembangkit listrik berskala mini ditentang. Proyek nuklir perlu kajian menyeluruh.
KETIMBANG himbang, sebaiknya pemerintah menunda saja rencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Sebelum proyek sangat strategis itu diputuskan, koordinasi antarlembaga pemerintah mesti berjalan baik. Rakyat perlu mendapat kepastian bahwa proyek itubenar-benar aman.
Keputusan tegas pemerintah diperlukan semua pihak yang berkaitan dengan urusan nuklir ini. Misalnya Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang herancang-ancang menyiapkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir berskala kecil di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan. Akihat perubahan angin di jajaran pucuk pemerintahan, rencana itu terkatung-katung. Ketika berkunjung ke Batan, pertengahan April lalu, Presiden Joko Widodo tampak antusias terhadap rencana Batan. Tapi akhir Juni lalu, ketika berkunjung ke Bangka Belitung, Presiden mengaku belum memikirkan opsi pembangunan PLTN.
Kesimpangsiuran, celakanya, menjalar sampai ke kementerian. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengaku belum menyetujui isi buku putih bertajuk "PLTN 5.000 MW di Indonesia" yang dikeluarkan kementeriannya. Buku yang disiapkan akhir tahun lalu itu merinci alasan dan tahapan menuju pembangunan pembangkit energi nuklir di Indonesia. Padahal bawahan Menteri Sudirman, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Rida Mulyana, memastikan Sudirman sudah memberi lampu hijau.
Silang pendapat ini sesungguhnya menunjukkan tidak satu padunya sikap pemerintah tentang pemanfaatan energi nuklir. De- wan Energi Nasional tegas menolak rencana Batan. Sedangkan Batan beralasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional 2005-2025, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2015-2024 yang diterbitkan Kementerian Energi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mencantumkan perlunya pembangunan PLTN.
Pro dan kontra begini bukan hal baru. Sejak Batan pertama kali merilis rencana pendirian PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah, pada 2007, semua argumentasi tentang kelebihan dan kekurangan energi nuklir sudah dibahas. Rencana reaktor nuklir mini di Serpong itu pun sebenarnya bagian dari uji coba agar kesiapan teknologi dan infrastruktur pendukung bisa diperiksa lebih saksama.
Di sisi lain, kecelakaan reaktor nuklir seperti yang terjadi empat tahun lalu di Fukushima, Jepang, seperti menyurutkan semua rencana. Pendapat yang herkembang setelah "Tragedi Fukushima", seandainya sumber energi alternatif lain masih tersedia, opsi nuklir bisa menunggu.
Satu hal yang membuat opsi nuklir seperti mendapat pembenaran: meningkatnya kebutuhan listrik nasional. Saat ini kebutuhan bertambah 5.900 megawatt per tahun. Sedangkan pembangkit yang ada hanya memenuhi 4.200 megawatt. Indonesia perlu tambahan 6,2 gigawatt per tahun agar tak tekor. Sementara itu, dengan ancaman pemanasan global, semua negara semestinya wajib mengurangi ketergantungan pada energi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batu bara.
Sebelum mengambil kata akhir, Presiden Jokowi sebaiknya memperhatikan pedoman International Atomic Energy Agency. Lembaga pengawas itu menegaskan pentingnya konsensus nasional berdasarkan partisipasi publik yang utuh sebagai prasyarat utama pengembangan energi nuklir di suatu negara.
LAPORAN UTAMA
Dua Telepon, Dua Kota, Satu Waktu
PENDUKUNG RISMA MENUDUH SOEKARWO DAN LA NYALLA BERADA DI BALIK GAGALNYA PENCALONAN PESAING INKUMBEN DI SURABAYA DAN PACITAN. ELITE PDIP DAN DEMOKRAT SEBETULNYA SEPAKAT BEKERJA SAMA.
SEPEREMPAT jam setelah menerima telepon pada Senin pagi pekan lalu, sikap Ketua Partai Golkar Pacitan Effendi Budi Wirawan berubah. Dalam rapat Koalisi Pacitan Bersama untuk menentukan kandidat kepala daerah di jawa Timur itu, is meminta menjadi calon bupati, berganti posisi dengan kader PDI Perjuangan, Suyatno.
Suasana rapat menjadi riuh. Sebab, usul disampaikan satu jam sebelum jadwal pendaftaran mereka ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat. "Saya mendapat informasi bahwa di Surabaya calon Demokrat yang dimunculkan. Di Pacitan, PDIP yang dipaksa dimunculkan," kata Effendi memberi alasan. la menyatakan memperoleh informasi itu dari kolega separtainya.
Perubahan sikap Effendi membuat nasib calon inkumben di kedua kota itu tak menentu. Popularitas Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Pacitan Indartato yang tinggi menyebabkan partai di luar "perahu" mereka enggan mengajukan calon. Akibatnya, karena hanya ada satu pendaftar, pemilihan di daerah itu terancam mundur hingga 2017.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang mengusung Risma di Surabaya, dan Partai Demokrat, yang mengajukan Indartato di Pacitan, awalnya seolah-olah sepakat "bekerja sama". Demi menghindari calon tunggal, mereka setuju mengajukan kandidat di kedua kota. Namun perubahan di Pacitan memporakporandakan rencana itu.
Perdebatan pecah setelah muncul permintaan Effendi. Rapat di kantor PDIP Pacitan itu dihadiri perwakilan Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Athanat Nasional, Partai Hati Nurani Rakyat, dan tuan rumah. Effendi berdalih, partainya memiliki kursi di Dewan lebih banyak, yaitu tujuh, dibandingkan dengan PDIP, yang punya enam kursi. Dia juga mengklaim memiliki modal jauh lebih besar daripada Suyatno.
Sehagian besar peserta rapat tak ingin ada perubahan komposisi. Mereka berangkat ke kantor KPUD pukul 15.30. Effendi mengatakan Suyatno sempat berbisik kepadanya, "Aku yo ora usah budal (saya juga tak usah berangkat)." Namun, kata dia, seorang pengurus PDIP mengajak Suyatno berangkat. Suyatno membantah berniat meninggalkan gelanggang. "Teman dari partai lain yang melarang saya berangkat," ujarnya.
Suyatno menuju gedung KPUD semobil dengan para politikus PDIP, yaitu Ketua Pengurus Jawa Timur Kusnadi; anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Giyanto; serta seorang pengurus pusat. Giyanto memiliki hubungan cukup dekat dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan ditugasi "mengawal" misi politik partai itu di Pacitan.
Total 12 mobil dan belasan sepeda motor mengiringi rombongan koalisi. Tapi, di tengah perjalanan, rombongan Golkar dan Gerindra herhelok ke kantor partai beringin. Politikus Gerindra meninggalkan koalisi dengan alasan isu barter politik PDIP dan Demokrat di kedua kota begitu santer. Ketua Gerindra Pacitan Rianto mengatakan Suyatno dan Effendi juga terlihat jeri berlaga menantang inkumben, Indartato-Yudi Sumbogo, yang disokong Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera. "Daripada ragu-ragu, lebih baik mundur," katanya.
Hingga batas akhir pendaftaran pukul 16.00, Effendi tak muncul. KPU memberi tambahan waktu 25 menit sampai selesai rapat koordinasi internal komisi penyelenggara pemilihan itu. Effendi sama sekali tak menjawab panggilan telepon. "Diangkat tapi tak ada suaranya," ucap Nur Sigit Efendi, Ketua Ilanura Pacitan. KPU pun menolak pendaftaran mereka. Walhasil, hanya ada satu kandidat pendaftar di Pacitan.
• • •
PERISTIWA di Pacitan beresonansi ke Surabaya. Pemilihan di kota ini seolaholah bakal diikuti dua pasangan ketika Demokrat dan Partai Amanat Nasional berkoalisi. Mereka mengajukan Dhimam Abror Djuraid, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Timur, dan Haries Purwoko, Ketua Pemuda Pancasila Surabaya.
Pada hari terakhir pendaftaran, Senin pekan lalu, tanda-tanda pasangan itu berantakan terasa sejak pagi. Sampai slang, Haries tak bisa dihubungi. Malam sebelumnya hingga Senin dinihari, Abror dan Haries bertemu dengan pengurus kedua partai di Hotel Shangri-La Surabaya. Abror, yang hendak mengajak Haries mengambil surat rekomendasidari Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Gubernur Soekarwo pada pukul 13.00, tak kunjung bisa menelepon calon pasangannya itu.
Haries juga tak bisa ditemui di rumahnya. Abror memberitahukan situasi itu kepada Soekarwo, yang kemudian menghubungi La Nyalla Mattalitti guna mengetahui keheradaan Haries. Semua tahu, Haries merupakan orang dekat Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia itu. Benar saja, atas perintah La Nyalla, Haries sepakat datang ke Masjid At-Thohiriyah, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, pukul 14.30. Abror dan Haries lalu berjalan kaki menuju kantor KPUD.
Setiba di kantor penyelenggara pemilihan, rombongan Abror dan Haries disambut Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana. Whisnu telah mendaftar untuk kerribali menjadi calon wakil wali kota pendamping Tri Rismaharini. Ketika mereka hendak bersalaman, seseorang berteriak dari kerumunan massa PDIP yang ikut hadir, "Iki golekane teka (ini bonekanya datang)."
Abror dan Hades tetap bersama-sama menuju kantor KPUD. Namun beberapa kali Haries menerima telepon sekitar pukul 16.00. Hampir setengah jam kemudian, Wakil Ketua DPRD dari Demokrat, Ratih Retnowati, menyodorkan telepon settler kepadanya. Haries meninggalkan ruang pendaftaran, keluar dari kantor KPUD, dan setelah itu tak muncul lagi.
Satu jam lebih Abror, yang memang telah menahbiskan diri sehagai calon Wall Kota Surabaya 2015-2020, tak radar telah ditinggalkan Haries. Ia hanya panik karena berkas pendaftaran belum lengkap diisi hingga pukul 17.00, Batas akhir pendaftaran. Ia menyatakan sedikit lega ketika KPUD memberi tambahan waktuhingga tengah malam. Setelah berbuka p-ttasa sunah dan salat magrib, is haru memperoleh kabar: Haries mundur dari pencalonan, dengan alasan "diminta ibunya". "Saya syok," ujar Abror, Selasa pekan lalu.
Seperti di Pacitan, rencana pencalonan di Surabaya berantakan. Kerja sama Demokrat dan PIMP di kedua kota tak lagi bisa jalan. Dua daerah itu merupakan bagian dari tujuh wilayah di Indonesia yang pemilihannya hanya diikuti satu pendaftar. Umumnya karena calon inkumben dianggap tidak mungkin dikalahkan. Rabu Pekan lalu, setelah berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo dan para pemimpin lembaga negara di Istana Bogor, Jawa Barat, Komisi Pemilihan Umum memutuskan memberi tambahan waktu pendaftaran selama tujuh hari.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan bukan penelepon terakhir sebelum Haries menghilang dari kantor KPUD. Sekretaris Demokrat Jawa Timur Bonie Laksmana juga membantah. "Tidak betul itu," ucap Bonie. Ratih menolak menjawab pertanyaan soal siapa yang menghubungi Haries melalui teleponnya pada hari itu.
Haries tak mau menyebutkan nama orang yang memintanya kabur. Dia hanya mengakui berkomunikasi dengan elite Demokrat untuk memberitahukan keberatan ibu dan keluarganya. "Tudingan jadi boneka itu tak enak. Konotasinya bisa diatur, pasti dibeli," kata Haries, yang hanya menjawab pertanyaan melalui surat elektronik.
Para pendukung Risma segera menghubungkan Soekarwo dan La Nyalla sebagai penyabot pencalonan Abror dan Haries. Mereka merujuk pada hubungan buruk kedua tokoh itu dengan Risma. Soekarwo sering berbenturan kepentingan dengan Surabaya, antara lain dalam rencana pembangunan jalan tol tengah kota. Adapun La Nyalla pernah menyatakan pemilihan di Surabaya harus ditunda agar Risma gagal menjadi calon wali kota lagi.
Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum PDIP Bambang Dwi Hartono-- yang juga pernah bérkonflik dengan Risma--pun menuduh kejadian di Surabaya dan Pacitan tak lepas dari peran Soekarwo. "Dia tahu semua," ujar mantan Wali Kota Surabaya ini.
Soekarwo membantah kecurigaan itu. La Nyalla, yang bersama Haries memasang banyak reklame untuk Soekarwo pada pemilihan Gubernur Jawa Timur 2013, menyatakan tak ikut campur tangan dalam urusan Surabaya. "Saya sibuk di PSSI," katanya.
•••
SOEKARWO, yang lama berkarier sebagai birokrat di Jawa Timur sebelum memimpin provinsi itu sejak 2008, memiliki jaringan politik lintas partai. Itu sebabnya para pendukung Risma yakin ia bisa memainkan politik di Surabaya—yang sangat strategis bagi Megawati dan PDIPdan Pacitan, yang dikuasai Demokrat dan memiliki nilai historis bagi Yudhoyono.
Elite kedua partai sebenarnya sepakat bekerja sama di kedua kota. Setelah menghadiri pembukaan Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, Sabtu dua pekan lalu, ketika hendak ter- bang kembali ke Jakarta dari Surabaya, menurut Risma, Megawati berpesan kepada Giyanto. "Kawal Pacitan. Jangan sampai berantakan," ujar Risma, menirukan pecan Megawati. Anggota DPRD Jawa Timur dari PDIP itu, menurut Risma, menjawab, "Siap!"
Risma mengatakan menyampaikan kepada Megawati soal kerja sama politik di kedua kota. "Saya bilang, Demokrat perlu bantuan di Pacitan," ujarnya. Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang menemani ibunya, menurut Risma, herkomentar, "Oh, jadi barter, ya? Ya, enggak apa-apa, bagus."
Imelda Sari, juru bicara Partai Demokrat, menyatakan, pada Kamis malam dua pekan lalu, Yudhoyono memerintahkan partainya membantu daerah-daerah yang hanya memiliki satu calon. Menurut dia, Yudhoyono secara khusus juga menyebut Risma. "Pak SBY mengatakan, tidak fair kalau kepala daerah yang baik gagal mencalonkan diri lagi karena tidak ada calon," ujarnya.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Panjaitan mengakui berkomunikasi membahas pencalonan di Surabaya dan Pacitan. Tapi Hasto menilai Demokrat di daerah kurang serius "menciptakan" lawan di Pacitan. Hinca tak menjawab ketika dimintai pendapat soal tuduhan itu.
Komunikasi PDIP dan Demokrat diJawa Timur agaknya mandek:Wakil Ketua Demokrat Pacitan Sugiharto mengatakan tak ada kesepakatan khusus soal Surabaya dan Pacitan dengan PDIP. Ia mengatakan tak menerima perintah apa pun dari pengurus Demokrat Jawa Timur pimpinan Soekarwo.
Setelah Komisi Pemilihan Umum memberi tambahan waktu hingga Selasa pekan ini, Soekarwo belum memastikan akan mengajukan lagi calon di Surabaya. Ia mengatakan, "Kami tidak bisa memaksa atau mencari ganti yang lain. Mencari petarung itu susah."
JOBRIE SUGIHARTO, WAYAN AGUS I JAKARTA. NOFIKA DIAN NUGROHO I PACITANI, AVIT HIDAYAT. ARTIKA RACHMI FARMITA (SURABAYA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar